BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Perkembangan
penafsiran Al-Qur’an di Indonesia agak berbeda dengan perkembangan yang terjadi
di dunia Arab yang merupakan tempat turunnya al Qur’an dan sekaligus tempat
kelahiran tafsir Al-Qur’an. Perbedaan tersebut terutama disebabkan oleh
perbedaan latar belakang budaya dan bahasa. Karena bahasa Arab adalah bahasa
mereka, maka mereka tidak mengalami kesulitan berarti untuk memahami bahasa
Al-Qur’an sehingga proses penafsiran juga lumayan cepat dan pesat. Hal ini
berbeda dengan bangsa Indonesia yang bahasa ibunya bukan bahasa Arab. Karena
itu proses pemahaman Al-Qur’an terlebih dahulu dimulai dengan penerjemahan
Al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia baru kemudian dilanjutkan dengan pemberian
penafsiran yang lebih luas dan rinci. Oleh karena itu pula, maka dapat dipahami
jika penafsiran Al-Qur’an di Indonesia melalui proses yang lebih lama jika
dibandingkan dengan yang berlaku di tempat asalnya.
Perjalanan
perkembangan ilmu tafsir dan karya-karya tafsir perlu diperhatikan dan diikuti
jejaknya. Meskipun lahirnya bidang ini jauh sebelum para tabi’in dan ulama
kontemporer merumuskan dan mengembangkannya, namun minat untuk mengkaji dan
merevolusi tidak pernah habis seiring berjalannya zaman. Karya-karya tafsir
ulama era at-Thabari, Ibn Katsir, Zamakhsyari dan lainnya tersebut
menginspirasi para mufasir baru sebagai penerus untuk mengembangkan model dalam
bentuk karya penafsiran, karena menjadi sebuah tuntutan bahwa Al-Qur’an
merupakan sumber jawaban atas segala permasalahan dimanapun dan kapanpun.
Indonesia
merupakan salah satu bagian terpenting dalam sejarah perkembangan Islam, tidak
lepas dari sentuhan tafsir. Sehingga lahirlah berbagai karya tafsir dalam kurun
waktu yang berbeda dengan corak, metode, dan subtansinya juga berbeda. Seiring
dengan latarbelakang tokoh atau penciptanya serta diwarnai dengan alasan
dibuatnya karya tersebut yang beragam pula.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
biografi M. Quraish Shihab dan karya-karyanya?
2.
Bagaimana sejarah penulisan Tafsir Al-Misbah karya M.
Quraish Shihab?
3.
Bagaimana pandangan tafsir al-Misbah tentang solidaritas?
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Biografi
M. Quraish Shihab
M.
Quraish Shihab lahir tanggal 16 Februari 1944 di Rapang, Ujung Pandang,
Sulawesi Selatan. Ayahnya bernama Abdurrahman Shihab adalah keluarga keturunan
arab yang terpelajar dan menjadi ulama sekaligus guru besar di IAIN Alauddin
Ujung Pandang. Sebagai seseorang yang berfikiran maju, Abdurrahman percaya
bahwa pendidikan merupakan agen perubahan. Sejak kecil M. Quraish Shihab telah
menjalani pergumulan dan kecintaan terhadap Al-Qur’an. Pada umur 6-7 tahun, ia
harus mengikuti pengajian Al-Qur’an
yang diadakan ayahnya
sendiri. Pada waktu itu, selain menyuruh membaca Al-Qur’an,
ayahnya juga menguraikan secara sepintas
tentang kisah-kisah dalam Al-Qur’an. Di sinilah mulai tumbuh benih-benih kecintaan Quraish Shihab kepada
Al-Qur’an.[1]
M.
Quraih Shihab menyelesaikan sekolah dasarnya di kota Ujung Pandang. Kemudian ia melanjutkan sekolah menengahnya
di kota Malang sambil belajar agama di pesantren Dar al-Hadis al-Fiqhiyah.[2]
Pada tahun 1958, ketika berusia 14 tahun, ia berangkat ke Kairo, Mesir untuk
melanjutkan studi, dan diterima di kelas II
Tsanawiyah Al-Azhar. Setelah itu ia diterima sebagai mahasiswa di
Universitas Al-Azhar dengan mengambil jurusan Tafsir dan Hadits, Fakultas
Ushuluddin hingga menyelasaikan Lc pada tahun 1967. Kemudian ia melanjutkan
pendidikannya pada fakultas dan jurusan yang sama hingga
memperoleh gelar master (MA) pada tahun 1969.[3]
Setelah
menyelesaikan studinya dengan gelar M.A tersebut, untuk sementara ia kembali ke
Ujung Pandang. Dalam kurun waktu kurang lebih sebelas tahun (1969 sampai 1980)
ia terjun ke berbagai aktivitas sambil menimba pengalaman empirik, baik dalam
bidang kegiatan akademik di IAIN Alauddin maupun di berbagai institusi
pemerintah setempat. Dalam masa menimba pengalaman dan karier ini, ia terpilih
sebagai pembantu Rektor III IAIN Ujung Pandang. Selain itu, ia juga terlibat
dalam pengembangan pendidikan perguruan tinggi swasta wilayah timur Indonesia
dan diserahi tugas sebagai koordinator wilayah. Di tengah-tengah kesibukannya
itu ia juga aktif melakukan kegiatan ilmiah yang menjadi dasar kesarjanaannya.
Beberapa penelitian telah dilakukannya. Di antaranya, ia meneliti tentang
“Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Timur Indonesia” (1975), dan “Masalah
Wakaf di Sulawesi Selatan” (1978).
Pada
tahun 1980, M. Quraish Shihab kembali ke Mesir untuk meneruskan studinya di
Program Pascasarjana Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir Hadis, Universitas
Al-Azhar. Hanya dalam waktu dua tahun (1982) dia berhasil menyelesaikan
disertasinya yang berjudul Nazm al-Durar li al-Biqā’i Tahqiq wa Dir āsah dan
berhasil dipertahankan dengan nilai cum laude.
Tahun
1984 adalah babak baru tahap kedua bagi Quraish Shihab untuk melanjutkan
kariernya. Untuk itu ia pindah tugas dari IAIN Ujung Pandang ke Fakultas
Ushuluddin di IAIN Jakarta. Di sini ia aktif mengajar bidang Tafsir dan Ulum
Al-Qur’an di program S1, S2, dan S3 sampai tahun 1998. Di samping melaksanakan
tugas pokoknya sebagai dosen, ia juga dipercaya menduduki jabatan sebagai
Rektor IAIN Jakarta selama dua periode (1992-1996 dan 1997-1998). Setelah itu
ia dipercaya menduduki jabatan sebagai Menteri Agama selama kurang lebih dua
bulan di awal tahun 1998.
Kehadiran
M. Quraish Shihab di ibukota Jakarta telah memberikan suasana baru dan disambut
hangat oleh masyarakat. Hal ini terbukti dengan adanya berbagai aktivitas yang
dijalankannya di tengah-tengah masyarakat. Di samping mengajar, ia juga
dipercaya untuk menduduki sejumlah jabatan. Di antaranya adalah sebagai
ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI)
pusat (sejak 1984), anggota lajnah pentashih Al-Qur’an Departemen Agama sejak
1989. Dia juga terlibat dalam beberapa organisasi professional, antara lain
asisten ketua umum Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), ketika
organisasi ini didirikan. Selanjutnya ia juga tercatat sebagai pengurus
perhimpunan ilmu-ilmu syari’ah, dan Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Aktivitas lainnya yang ia lakukan adalah
sebagai Dewan Redaksi Studia Islamika: Indonesian Journar for Islamic Studies, Ulumul Qur’an, Mimbar Ulama, dan
Refleksi Jurnal Kajian Agama dan Filsafat. Semua penerbitan ini berada di
Jakarta.[4]
Beberapa
buku karya M. Quraish Shihab:
1.
Tafsir
Al-Mishbah
2.
Wawasan Al-Qur’an:
Tafsir Tematik atas berbagai Persoalan Umat
3.
Membumikan
Al-Qur’an
4.
Lentera Hati:
Kisah dan Hikmah Kehidupan
5.
Lentera
Al-Qur’an
6.
Filsafat Hukum
Islam
7.
Secercah Cahaya
Ilahi: Hidup Bersama Al-Qur’an
8.
Pengantin
Al-Qur’an
9.
Tafsir Al-Manar,
Keistimewaan dan Kelemahannya
10.
Logika Agama:
Kedudukan Wahyu dan Batas-Batas Akal dalam Islam
B.
Sejarah Penulisan Tafsir Al-Misbah Karya
M. Quraish Shihab
Tafsir al-Misbah ini, sebagaimana diakui oleh penulisnya,
Quraish Shihab, pertama kali ditulis di Kairo Mesir pada hari Jum’at, 4 Rabiul
Awal 1420 H, bertepatan dengan tanggal 18 juni 1999.[5]
Dan saat pagi hari di Jakarta, Jum’at 8 Rajab 1432 H bertepatan dengan 5
September 2003, selesai sudah beliau mempersembahkan kepada para pembaca Tafsir
Al-Qur’an.[6] Secara
lengkap, buku ini diberi nama: Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian
Al-Qur’an yang diterbitkan pertama kali oleh penerbit Lentera Hati
bekerjasama dengan Perpustakaan Umum Islam Iman Jama pada bulan Sya’ban
1421 H/November 2000 M.
Tafsir ini ditulis beliau saat sedang menjabat sebagai Duta
Besar dan berkuasa penuh di Mesir, Somalia, dan Jibuti. Jabatan sebagai Duta
Besar ini ditawarkan oleh bapak Bahruddin Jusuf Habibi ketika masih menjabat
sebagai Presiden RI. Meskipun pada awalnya beliau enggan untuk menerima jabatan
tersebut, namun akhirnya tugas itu pun diembannya. Pertimbangan lain yang
menyebabkan beliau menerima tawaran itu, bisa jadi karena dengan di Mesir,
tempat almamaternya Universitas Al-Azhar, beliau dapat mengasingkan diri untuk
merealisasikan penulisan tafsir secara utuh dan serius sebagaimana yang diminta
oleh teman temannya. Di samping itu, Mesir memiliki iklim ilmiah yang sangat
subur.[7]
Bahkan, menurut beliau penulisan tafsir secara utuh dan lengkap
harus membutuhkan konsentrasi penuh, dan kalau perlu harus mengasingkan diri
seperti di “penjara”. Bahkan, beliau dengan bangga menyatakan dalam penutup
tafsir Al-Misbah bahwa ide untuk merealisasikan penulisan tafsir ini secara
utuh dan serius ini juga di motivasi oleh masukan dari beberapa teman temannya,
baik yang dikenal maupun yang tidak dikenalnya.
Awalnya beliau akan menulis tafsir ini secara sederhana dan tidak
berbelit belit, yaitu tidak lebih dari 3 volume. Namun, ketika beliau memulai
menulis membuatnya mendapat kepuasan rohani dan tak terasa mencapai 15 volume.
Dengan jumlah yang spektakuler ini tak heran mengapa beliau merasa dalam
“pengasingan”. Karena banyaknya volume tak jarang keluarganya ikut membantu
mengetik beberapa artikel dan merapikannya, hal ini juga beliau utarakan dalam
sekapur sirih beliau di Tafsir Al-Misbah tersebut.
C.
Pandangan Tafsir Al-Misbah Tentang Solidaritas
Solidaritas adalah rasa saling menyayangi, saling
mencintai, saling membantu serta mengerti perasaan satu sama lain hingga
keinginan untuk membela salah satu darinya ketika
diperlakukan tidak adil atau disakiti, dengan menekankan pada kesadaran,
kepaduan dan persatuan kelompok.[8]
Solidaritas merupakan sesuatu yang sangat
dibutuhkan dalam sebuah kelompok sosial, karena dengan adanya solidaritas suatu
kelompok akan memiliki suatu peranan moral dan kepecayaan yang dianut bersama,
yang diperkuat oleh peranan pengalaman emosional bersama, yang menimbulkan kekokohan
suatu kelompok tersebut.
Adanya sikap solidaritas
antar masyarakat akan menimbulkan kerukunan, kenyamanan, dan keamanan. Begitu
juga sebaliknya tanpa adanya sikap solidaritas maka akan timbul
tindakan-tindakan yang menyalahi norma-norma yang berlaku di mayarakat. Tafsir
al-Misbah karya M. Quraish Shihab menjelaskan
solidaritas tentang bagaimana sikap kita ketika ada dua kelompok mukmini
bertingkain yang tertuang dalam al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 9 :
bÎ)ur Èb$tGxÿͬ!$sÛ z`ÏB tûüÏZÏB÷sßJø9$# (#qè=tGtGø%$# (#qßsÎ=ô¹r'sù $yJåks]÷t/ ( .bÎ*sù ôMtót/ $yJßg1y÷nÎ) n?tã 3t÷zW{$# (#qè=ÏG»s)sù ÓÉL©9$# ÓÈöö7s? 4Ó®Lym uäþÅ"s? #n<Î) ÌøBr& «!$# 4 bÎ*sù ôNuä!$sù (#qßsÎ=ô¹r'sù $yJåks]÷t/ ÉAôyèø9$$Î/ (#þqäÜÅ¡ø%r&ur ( ¨bÎ) ©!$# =Ïtä úüÏÜÅ¡ø)ßJø9$# ÇÒÈ
“Dan
kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu
damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian terhadap
yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut
kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya
menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai
orang-orang yang Berlaku adil.”
Ayat ini berbicara tentang perselisihan antar kaum mukminin yang antara
lain disebabkan oleh adanya isu yang tidak jelas kebenaranya. Jika ada dua
kelompok orang-orang mukmin yang telah menyatu secara faktual atau berpotensi
menyatu untuk bertingkai walau dalam bentuk sekecil apapun maka sikap kita adalah
mendamaikan keduanya.[9] Jika salah satu dari keduanya sedang atau masih terus-terusan
berbuat aniaya terhadap kelompok yang lain hingga enggan menerima kebenaran
atau perdamaian maka tidaklah kelompok yang berbuat aniaya itu sehingga ia
kembali kepada Allah yaitu menerima kebenaran. Jika ia telah kembali kepada
perintah Allah maka damaikanlah antar keduanya dengan adil dan berlaku adillah
dalam segala hal agar putusan kamu dapat diterima dengan baikoleh semua
kelompok karen sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
Adanya sikap mendamaikan orang-orang yang bertingkai ini tidak lain karena
untuk menciptakan kemanfaatan untuk semua pihak. Dalam konteks hubungan antar
manusia, maka nilai-nilai itu tercermin dalam keharmonisan hubungan. Ini
berarti jika hubungan antar dua pihak retak atau terganggu , maka terjadi
kerusakan. Maka adanya sikap mendamaikan antar kedua pihak yang bertingkai akan
memulihkan keharmonisan dan terpenuhi nilai-nilai bagi hubungan tersebut
sebagai dampaknya akan melahirkan berbagai macam kemaslahatan.
Setelah ayat 9 tadi memerintahkan untuk melakukan perdamaian antara dua
kelompok orang beriman, pada al-Qur’an
surat al-Hujurat ayat 10:
$yJ¯RÎ) tbqãZÏB÷sßJø9$# ×ouq÷zÎ) (#qßsÎ=ô¹r'sù tû÷üt/ ö/ä3÷uqyzr& 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ÷/ä3ª=yès9 tbqçHxqöè? ÇÊÉÈ
“Orang-orang
beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah
hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu
mendapat rahmat.”
Ayat ini menjelaskan mengapa melakukan perdamaian perlu dilakukan dan
ishlah perlu ditegakkan, karena sesungguhnya orang-orang mukmin yang mantap
imannya serta dihimpun oleh keimanan, kendati tidak seketurunan tapi mereka
bagaikan bersaudara seketurunan, dengan demikian mereka memiliki keterkaitan
bersama dalam iman dan juga keterkaitan bagaikan seketurunan. maka dari itu
orang-orang beriman yang tidak terlibat langsung dalam pertingkaian antar
kelompok harus mendamaikannya walaupun pertingkaian itu hanya terjadi dua orang
. bertaqwalah kepada Allah dengan menjaga diri kita supaya tidak tertimpa
bencana, baik akibat pertingkaian itu maupuun selainnya, supaya kita semua
mendapat rahmat dari Allah antara lain rahmat persatuan dan kesatuan.[10]
Ayat di atas jelas mengisyaratkan dengan sangat jelas behwa persatuan dan
kesatuan, serta hubungan harmonis antar anggota masyarakat kecil atau besar,
akan melahirkan limpahan rahmat bagi mereka semua. Sebaliknya, perpecahan dan
keretakan hunbungan mengundang lahirnya pertumpahan darah dan perang saudara
sebagaiman dipahami dari kata qital
yang puncaknya adalah peperangan.
Prinsip dasar kehidupan manusia sebenarnya adalah saling mengenal satu sama
lain, sebagaiman firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 13:
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.s 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© @ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ×Î7yz ÇÊÌÈ
“Hai manusia,
Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Ayat ini menjelaskan bahwa sesungguhnya Allah menciptakan laki-laki dan
perempuan serta menjadikan kita berbangsa-bangsa juga bersuku-suku supaya kita
saling kenal-mengenal yang mengantar kita untuk bantu-membantu serta saling
melengkapi. Semua manusia derajat kemanusiaannya sama di sisi Allah, tidak ada
perbedaan antara satu suku dengan yang lain. Tidak ada juga perbedaan pada
nilai kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan. Semakin kuat pengenalan satu
pihak kepada selainnya, semakin terbuka peluang untuk saling memberi manfaat.
Karena itu ayat di atas menekankan perlunya saling mengenal. Perkenalan itu di
butuhkan untuk saling menarik pelajaran dan pengalaman pihak lain, guna
meningkatkan ketaqwaan kepada Allah swt, yang dampaknya tercermin pada
kedamaian dan kesejahteraan hidup duniawi dan kebahagiaan ukhrawi. Kita tidak
akan dapat menarik pelajaran, menarik pelajaran, dan tidak dapat melengkapi dan
menarik manfaat bahkan tidak dapat
bekerrja sama tanpa saling mengenal satu sama lain karena prinsip dasar
kehidupan adalah diciptakannya laki-laki dan perempuan untuk saling
kenal-mengenal.[11]
BAB III
PENUTUP
A.
SIMPULAN
Uraian dan penjelasan M. Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah tentang ayat
solidaritas dapat kita ambil kesimpulan bahwa solidaritas merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam sebuah kelompok sosial,
karena dengan adanya solidaritas suatu kelompok akan memiliki suatu peranan
moral dan kepecayaan yang dianut bersama, yang diperkuat oleh peranan
pengalaman emosional bersama, yang menimbulkan kekokohan suatu kelompok
tersebut.
Terdapat tiga aspek solidaritas dalam kajian kali ini, pertama yaitu mendamaikan petrtinggkaian antar kelompok yang
dampaknya akan menghasilkan keharmonisan dan kemaslahatan untuk semua pihak. Kedua adalah urgensi melakuakan perdamaian yang dampaknya akan menciptakan
persatuan dan kesatuan, serta hubungan harmonis antar anggota masyarakat kecil
atau besar, akan melahirkan limpahan rahmat bagi mereka semua. Sebaliknya,
perpecahan dan keretakan hunbungan mengundang lahirnya pertumpahan darah dan
perang saudara sebagaiman dipahami dari kata qital yang puncaknya adalah peperangan. Ketiga adalah prinsip dasar kehidupan tidak lain kita diciptakan
untuk saling kenal-mengenal, saling menarik pelajaran dan pengalaman pihak
lain, guna meningkatkan ketaqwaan kepada Allah swt, yang dampaknya tercermin
pada kedamaian dan kesejahteraan hidup duniawi dan kebahagiaan ukhrawi.
DAFTAR
PUSTAKA
Nata, Abuddin. Tokoh-tokoh
Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
2005.
Raziqin, Badiatul dkk. 101
Jejak Tokoh Islam
Indonesia. Yogyakarta: E-Nusantara. 2009.
Shihab, M. Quraish. Membumikan
Al-Qur’an. Bandung: Mizan. 1994.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah Pesan,
Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati. 2002. Volume 10.
Ichwan, Mohammad Nor, Prof. M.
Quraish Shihab Membincang Persoalan Gender. Semarang: Rasail. 2013.
Raziqin, dkk, 101 Jejak
Tokoh Islam Indonesia.
Soekarto,
Soejono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2013.
http://stainkudus.ac.id/
[1] Badiatul Raziqin,
dkk, 101 Jejak
Tokoh Islam Indonesia, Yogyakarta: E-Nusantara, 2009,
hlm. 269.
[2] M. Quraish Shihab, Membumikan
Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1994, hlm. 6.
[3] Raziqin, dkk, 101 Jejak
Tokoh Islam Indonesia…, hlm. 269-270.
[4] Abuddin Nata, Tokoh-tokoh
Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2005, hlm. 363-364.
[5] M. Quraish Shihab, Tafsir
Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 15, Jakarta: Lentera
Hati, 2003, hlm. 645.
[6] Ibid…, hlm. 789.
[7] Mohammad Nor Ichwan, Prof. M.
Quraish Shihab Membincang Persoalan Gender, Semarang: Rasail, 2013, hlm.
36-37.
[9]
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan,
Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2002, Volume 10, Hlm :
243-246Lentera Hati, 2002, Volume 10, Hlm : 243-246
[11] Ibid, Hlm : 260-264
0 komentar:
Posting Komentar