Selasa, 06 Juni 2017

SOLIDARITAS DALAM PRESFEKTIF TAFSIR AL-MISBAH




BAB I
PENDAHULUAN



A.      Latar Belakang

Perkembangan penafsiran Al-Qur’an di Indonesia agak berbeda dengan perkembangan yang terjadi di dunia Arab yang merupakan tempat turunnya al Qur’an dan sekaligus tempat kelahiran tafsir Al-Qur’an. Perbedaan tersebut terutama disebabkan oleh perbedaan latar belakang budaya dan bahasa. Karena bahasa Arab adalah bahasa mereka, maka mereka tidak mengalami kesulitan berarti untuk memahami bahasa Al-Qur’an sehingga proses penafsiran juga lumayan cepat dan pesat. Hal ini berbeda dengan bangsa Indonesia yang bahasa ibunya bukan bahasa Arab. Karena itu proses pemahaman Al-Qur’an terlebih dahulu dimulai dengan penerjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia baru kemudian dilanjutkan dengan pemberian penafsiran yang lebih luas dan rinci. Oleh karena itu pula, maka dapat dipahami jika penafsiran Al-Qur’an di Indonesia melalui proses yang lebih lama jika dibandingkan dengan yang berlaku di tempat asalnya.

Perjalanan perkembangan ilmu tafsir dan karya-karya tafsir perlu diperhatikan dan diikuti jejaknya. Meskipun lahirnya bidang ini jauh sebelum para tabi’in dan ulama kontemporer merumuskan dan mengembangkannya, namun minat untuk mengkaji dan merevolusi tidak pernah habis seiring berjalannya zaman. Karya-karya tafsir ulama era at-Thabari, Ibn Katsir, Zamakhsyari dan lainnya tersebut menginspirasi para mufasir baru sebagai penerus untuk mengembangkan model dalam bentuk karya penafsiran, karena menjadi sebuah tuntutan bahwa Al-Qur’an merupakan sumber jawaban atas segala permasalahan dimanapun dan kapanpun.

Indonesia merupakan salah satu bagian terpenting dalam sejarah perkembangan Islam, tidak lepas dari sentuhan tafsir. Sehingga lahirlah berbagai karya tafsir dalam kurun waktu yang berbeda dengan corak, metode, dan subtansinya juga berbeda. Seiring dengan latarbelakang tokoh atau penciptanya serta diwarnai dengan alasan dibuatnya karya tersebut yang beragam pula.

B.       Rumusan Masalah

1.         Bagaimana biografi M. Quraish Shihab dan karya-karyanya?

2.         Bagaimana sejarah penulisan Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab?

3.         Bagaimana pandangan tafsir al-Misbah tentang solidaritas?
BAB II
PEMBAHASAN

A.      Biografi M. Quraish Shihab

M. Quraish Shihab lahir tanggal 16 Februari 1944 di Rapang, Ujung Pandang, Sulawesi Selatan. Ayahnya bernama Abdurrahman Shihab adalah keluarga keturunan arab yang terpelajar dan menjadi ulama sekaligus guru besar di IAIN Alauddin Ujung Pandang. Sebagai seseorang yang berfikiran maju, Abdurrahman percaya bahwa pendidikan merupakan agen perubahan. Sejak kecil M. Quraish Shihab telah menjalani pergumulan dan kecintaan terhadap Al-Qur’an. Pada umur 6-7 tahun, ia harus mengikuti pengajian Al-Qur’an  yang  diadakan  ayahnya  sendiri. Pada  waktu  itu, selain menyuruh membaca Al-Qur’an, ayahnya juga menguraikan secara sepintas  tentang kisah-kisah dalam Al-Qur’an. Di sinilah mulai tumbuh  benih-benih kecintaan Quraish Shihab kepada Al-Qur’an.[1]

M. Quraih Shihab menyelesaikan sekolah dasarnya di kota Ujung Pandang.  Kemudian ia melanjutkan sekolah menengahnya di kota Malang sambil belajar agama di pesantren Dar al-Hadis al-Fiqhiyah.[2] Pada tahun 1958, ketika berusia 14 tahun, ia berangkat ke Kairo, Mesir untuk melanjutkan studi, dan diterima di kelas II  Tsanawiyah Al-Azhar. Setelah itu ia diterima sebagai mahasiswa di Universitas Al-Azhar dengan mengambil jurusan Tafsir dan Hadits, Fakultas Ushuluddin hingga menyelasaikan Lc pada tahun 1967. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya  pada  fakultas dan jurusan yang sama hingga memperoleh gelar master (MA) pada tahun 1969.[3]

Setelah menyelesaikan studinya dengan gelar M.A tersebut, untuk sementara ia kembali ke Ujung Pandang. Dalam kurun waktu kurang lebih sebelas tahun (1969 sampai 1980) ia terjun ke berbagai aktivitas sambil menimba pengalaman empirik, baik dalam bidang kegiatan akademik di IAIN Alauddin maupun di berbagai institusi pemerintah setempat. Dalam masa menimba pengalaman dan karier ini, ia terpilih sebagai pembantu Rektor III IAIN Ujung Pandang. Selain itu, ia juga terlibat dalam pengembangan pendidikan perguruan tinggi swasta wilayah timur Indonesia dan diserahi tugas sebagai koordinator wilayah. Di tengah-tengah kesibukannya itu ia juga aktif melakukan kegiatan ilmiah yang menjadi dasar kesarjanaannya. Beberapa penelitian telah dilakukannya. Di antaranya, ia meneliti tentang “Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Timur Indonesia” (1975), dan “Masalah Wakaf di Sulawesi Selatan” (1978).

Pada tahun 1980, M. Quraish Shihab kembali ke Mesir untuk meneruskan studinya di Program Pascasarjana Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir Hadis, Universitas Al-Azhar. Hanya dalam waktu dua tahun (1982) dia berhasil menyelesaikan disertasinya yang berjudul Nazm al-Durar li al-Biqā’i Tahqiq wa Dir āsah dan berhasil dipertahankan dengan nilai cum laude.

Tahun 1984 adalah babak baru tahap kedua bagi Quraish Shihab untuk melanjutkan kariernya. Untuk itu ia pindah tugas dari IAIN Ujung Pandang ke Fakultas Ushuluddin di IAIN Jakarta. Di sini ia aktif mengajar bidang Tafsir dan Ulum Al-Qur’an di program S1, S2, dan S3 sampai tahun 1998. Di samping melaksanakan tugas pokoknya sebagai dosen, ia juga dipercaya menduduki jabatan sebagai Rektor IAIN Jakarta selama dua periode (1992-1996 dan 1997-1998). Setelah itu ia dipercaya menduduki jabatan sebagai Menteri Agama selama kurang lebih dua bulan di awal tahun 1998.

Kehadiran M. Quraish Shihab di ibukota Jakarta telah memberikan suasana baru dan disambut hangat oleh masyarakat. Hal ini terbukti dengan adanya berbagai aktivitas yang dijalankannya di tengah-tengah masyarakat. Di samping mengajar, ia juga dipercaya untuk menduduki sejumlah jabatan. Di antaranya adalah sebagai ketua  Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat (sejak 1984), anggota lajnah pentashih Al-Qur’an Departemen Agama sejak 1989. Dia juga terlibat dalam beberapa organisasi professional, antara lain asisten ketua umum Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), ketika organisasi ini didirikan. Selanjutnya ia juga tercatat sebagai pengurus perhimpunan ilmu-ilmu syari’ah, dan Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Aktivitas lainnya yang ia lakukan adalah sebagai Dewan Redaksi Studia Islamika: Indonesian Journar for Islamic  Studies, Ulumul Qur’an, Mimbar Ulama, dan Refleksi Jurnal Kajian Agama dan Filsafat. Semua penerbitan ini berada di Jakarta.[4]

Beberapa buku karya M. Quraish Shihab:

1.         Tafsir Al-Mishbah

2.         Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik atas berbagai Persoalan Umat

3.         Membumikan Al-Qur’an

4.         Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan

5.         Lentera Al-Qur’an

6.         Filsafat Hukum Islam

7.         Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama Al-Qur’an

8.         Pengantin Al-Qur’an           

9.         Tafsir Al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya

10.     Logika Agama: Kedudukan Wahyu dan Batas-Batas Akal dalam Islam

B.       Sejarah Penulisan Tafsir Al-Misbah Karya M. Quraish Shihab

Tafsir al-Misbah ini, sebagaimana diakui oleh penulisnya, Quraish Shihab, pertama kali ditulis di Kairo Mesir pada hari Jum’at, 4 Rabiul Awal 1420 H, bertepatan dengan tanggal 18 juni 1999.[5] Dan saat pagi hari di Jakarta, Jum’at 8 Rajab 1432 H bertepatan dengan 5 September 2003, selesai sudah beliau mempersembahkan kepada para pembaca Tafsir Al-Qur’an.[6] Secara lengkap, buku ini diberi nama: Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an yang diterbitkan pertama kali oleh penerbit Lentera Hati bekerjasama dengan Perpustakaan Umum Islam Iman Jama pada bulan Sya’ban 1421 H/November 2000 M.

Tafsir ini ditulis beliau saat sedang menjabat sebagai Duta Besar dan berkuasa penuh di Mesir, Somalia, dan Jibuti. Jabatan sebagai Duta Besar ini ditawarkan oleh bapak Bahruddin Jusuf Habibi ketika masih menjabat sebagai Presiden RI. Meskipun pada awalnya beliau enggan untuk menerima jabatan tersebut, namun akhirnya tugas itu pun diembannya. Pertimbangan lain yang menyebabkan beliau menerima tawaran itu, bisa jadi karena dengan di Mesir, tempat almamaternya Universitas Al-Azhar, beliau dapat mengasingkan diri untuk merealisasikan penulisan tafsir secara utuh dan serius sebagaimana yang diminta oleh teman temannya. Di samping itu, Mesir memiliki iklim ilmiah yang sangat subur.[7]

Bahkan, menurut beliau penulisan tafsir secara utuh dan lengkap harus membutuhkan konsentrasi penuh, dan kalau perlu harus mengasingkan diri seperti di “penjara”. Bahkan, beliau dengan bangga menyatakan dalam penutup tafsir Al-Misbah bahwa ide untuk merealisasikan penulisan tafsir ini secara utuh dan serius ini juga di motivasi oleh masukan dari beberapa teman temannya, baik yang dikenal maupun yang tidak dikenalnya.

Awalnya beliau akan menulis tafsir ini secara sederhana dan tidak berbelit belit, yaitu tidak lebih dari 3 volume. Namun, ketika beliau memulai menulis membuatnya mendapat kepuasan rohani dan tak terasa mencapai 15 volume. Dengan jumlah yang spektakuler ini tak heran mengapa beliau merasa dalam “pengasingan”. Karena banyaknya volume tak jarang keluarganya ikut membantu mengetik beberapa artikel dan merapikannya, hal ini juga beliau utarakan dalam sekapur sirih beliau di Tafsir Al-Misbah tersebut.

C.      Pandangan Tafsir Al-Misbah Tentang Solidaritas

Solidaritas adalah rasa saling menyayangi, saling mencintai, saling membantu serta mengerti perasaan satu sama lain hingga keinginan untuk membela salah satu darinya ketika diperlakukan tidak adil atau disakiti, dengan menekankan pada kesadaran, kepaduan dan persatuan kelompok.[8]

Solidaritas merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam sebuah kelompok sosial, karena dengan adanya solidaritas suatu kelompok akan memiliki suatu peranan moral dan kepecayaan yang dianut bersama, yang diperkuat oleh peranan pengalaman emosional bersama, yang menimbulkan kekokohan suatu kelompok tersebut.

Adanya sikap solidaritas antar masyarakat akan menimbulkan kerukunan, kenyamanan, dan keamanan. Begitu juga sebaliknya tanpa adanya sikap solidaritas maka akan timbul tindakan-tindakan yang menyalahi norma-norma yang berlaku di mayarakat. Tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab menjelaskan  solidaritas tentang bagaimana sikap kita ketika ada dua kelompok mukmini bertingkain yang tertuang dalam al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 9 :

bÎ)ur Èb$tGxÿͬ!$sÛ z`ÏB tûüÏZÏB÷sßJø9$# (#qè=tGtGø%$# (#qßsÎ=ô¹r'sù $yJåks]÷t/ ( .bÎ*sù ôMtót/ $yJßg1y÷nÎ) n?tã 3t÷zW{$# (#qè=ÏG»s)sù ÓÉL©9$# ÓÈöö7s? 4Ó®Lym uäþÅ"s? #n<Î) ̍øBr& «!$# 4 bÎ*sù ôNuä!$sù (#qßsÎ=ô¹r'sù $yJåks]÷t/ ÉAôyèø9$$Î/ (#þqäÜÅ¡ø%r&ur ( ¨bÎ) ©!$# =Ïtä šúüÏÜÅ¡ø)ßJø9$# ÇÒÈ  

“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil.”



Ayat ini berbicara  tentang perselisihan antar kaum mukminin yang antara lain disebabkan oleh adanya isu yang tidak jelas kebenaranya. Jika ada dua kelompok orang-orang mukmin yang telah menyatu secara faktual atau berpotensi menyatu untuk bertingkai walau dalam bentuk sekecil apapun maka sikap kita adalah mendamaikan keduanya.[9] Jika salah satu dari keduanya sedang atau masih terus-terusan berbuat aniaya terhadap kelompok yang lain hingga enggan menerima kebenaran atau perdamaian maka tidaklah kelompok yang berbuat aniaya itu sehingga ia kembali kepada Allah yaitu menerima kebenaran. Jika ia telah kembali kepada perintah Allah maka damaikanlah antar keduanya dengan adil dan berlaku adillah dalam segala hal agar putusan kamu dapat diterima dengan baikoleh semua kelompok karen sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.

Adanya sikap mendamaikan orang-orang yang bertingkai ini tidak lain karena untuk menciptakan kemanfaatan untuk semua pihak. Dalam konteks hubungan antar manusia, maka nilai-nilai itu tercermin dalam keharmonisan hubungan. Ini berarti jika hubungan antar dua pihak retak atau terganggu , maka terjadi kerusakan. Maka adanya sikap mendamaikan antar kedua pihak yang bertingkai akan memulihkan keharmonisan dan terpenuhi nilai-nilai bagi hubungan tersebut sebagai dampaknya akan melahirkan berbagai macam kemaslahatan.

Setelah ayat 9 tadi memerintahkan untuk melakukan perdamaian antara dua kelompok orang beriman,  pada al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 10:

$yJ¯RÎ) tbqãZÏB÷sßJø9$# ×ouq÷zÎ) (#qßsÎ=ô¹r'sù tû÷üt/ ö/ä3÷ƒuqyzr& 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ÷/ä3ª=yès9 tbqçHxqöè? ÇÊÉÈ  

Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”



Ayat ini menjelaskan mengapa melakukan perdamaian perlu dilakukan dan ishlah perlu ditegakkan, karena sesungguhnya orang-orang mukmin yang mantap imannya serta dihimpun oleh keimanan, kendati tidak seketurunan tapi mereka bagaikan bersaudara seketurunan, dengan demikian mereka memiliki keterkaitan bersama dalam iman dan juga keterkaitan bagaikan seketurunan. maka dari itu orang-orang beriman yang tidak terlibat langsung dalam pertingkaian antar kelompok harus mendamaikannya walaupun pertingkaian itu hanya terjadi dua orang . bertaqwalah kepada Allah dengan menjaga diri kita supaya tidak tertimpa bencana, baik akibat pertingkaian itu maupuun selainnya, supaya kita semua mendapat rahmat dari Allah antara lain rahmat persatuan dan kesatuan.[10]

Ayat di atas jelas mengisyaratkan dengan sangat jelas behwa persatuan dan kesatuan, serta hubungan harmonis antar anggota masyarakat kecil atau besar, akan melahirkan limpahan rahmat bagi mereka semua. Sebaliknya, perpecahan dan keretakan hunbungan mengundang lahirnya pertumpahan darah dan perang saudara sebagaiman dipahami dari kata qital yang puncaknya adalah peperangan.

Prinsip dasar kehidupan manusia sebenarnya adalah saling mengenal satu sama lain, sebagaiman firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 13:

$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz ÇÊÌÈ  

Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”



Ayat ini menjelaskan bahwa sesungguhnya Allah menciptakan laki-laki dan perempuan serta menjadikan kita berbangsa-bangsa juga bersuku-suku supaya kita saling kenal-mengenal yang mengantar kita untuk bantu-membantu serta saling melengkapi. Semua manusia derajat kemanusiaannya sama di sisi Allah, tidak ada perbedaan antara satu suku dengan yang lain. Tidak ada juga perbedaan pada nilai kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan. Semakin kuat pengenalan satu pihak kepada selainnya, semakin terbuka peluang untuk saling memberi manfaat. Karena itu ayat di atas menekankan perlunya saling mengenal. Perkenalan itu di butuhkan untuk saling menarik pelajaran dan pengalaman pihak lain, guna meningkatkan ketaqwaan kepada Allah swt, yang dampaknya tercermin pada kedamaian dan kesejahteraan hidup duniawi dan kebahagiaan ukhrawi. Kita tidak akan dapat menarik pelajaran, menarik pelajaran, dan tidak dapat melengkapi dan menarik manfaat  bahkan tidak dapat bekerrja sama tanpa saling mengenal satu sama lain karena prinsip dasar kehidupan adalah diciptakannya laki-laki dan perempuan untuk saling kenal-mengenal.[11]



BAB III
PENUTUP

A.      SIMPULAN

Uraian dan penjelasan M. Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah tentang ayat solidaritas dapat kita ambil kesimpulan bahwa solidaritas merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam sebuah kelompok sosial, karena dengan adanya solidaritas suatu kelompok akan memiliki suatu peranan moral dan kepecayaan yang dianut bersama, yang diperkuat oleh peranan pengalaman emosional bersama, yang menimbulkan kekokohan suatu kelompok tersebut.

Terdapat tiga aspek solidaritas dalam kajian kali ini, pertama yaitu mendamaikan petrtinggkaian antar kelompok yang dampaknya akan menghasilkan keharmonisan dan kemaslahatan untuk semua pihak. Kedua adalah urgensi melakuakan  perdamaian yang dampaknya akan menciptakan persatuan dan kesatuan, serta hubungan harmonis antar anggota masyarakat kecil atau besar, akan melahirkan limpahan rahmat bagi mereka semua. Sebaliknya, perpecahan dan keretakan hunbungan mengundang lahirnya pertumpahan darah dan perang saudara sebagaiman dipahami dari kata qital yang puncaknya adalah peperangan. Ketiga adalah prinsip dasar kehidupan tidak lain kita diciptakan untuk saling kenal-mengenal, saling menarik pelajaran dan pengalaman pihak lain, guna meningkatkan ketaqwaan kepada Allah swt, yang dampaknya tercermin pada kedamaian dan kesejahteraan hidup duniawi dan kebahagiaan ukhrawi.

















DAFTAR PUSTAKA

Nata, Abuddin. Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2005.

Raziqin, Badiatul dkk.  101  Jejak  Tokoh  Islam  Indonesia. Yogyakarta: E-Nusantara. 2009.

Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan. 1994.

Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati. 2002. Volume 10.

Ichwan, Mohammad Nor, Prof. M. Quraish Shihab Membincang Persoalan Gender. Semarang: Rasail. 2013.

Raziqin,  dkk,  101  Jejak  Tokoh  Islam  Indonesia.

Soekarto, Soejono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2013.

http://stainkudus.ac.id/




[1] Badiatul  Raziqin,  dkk,  101  Jejak  Tokoh  Islam  Indonesia, Yogyakarta: E-Nusantara, 2009, hlm. 269.
[2] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1994, hlm. 6.
[3] Raziqin,  dkk,  101  Jejak  Tokoh  Islam  Indonesia…,  hlm. 269-270.
[4] Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005, hlm. 363-364.
[5] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 15, Jakarta: Lentera Hati, 2003, hlm. 645.
[6] Ibid…, hlm. 789.    
[7] Mohammad Nor Ichwan, Prof. M. Quraish Shihab Membincang Persoalan Gender, Semarang: Rasail, 2013, hlm. 36-37.
[8] Soejono Soekarto, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013, hlm: 28
[9] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2002, Volume 10, Hlm : 243-246Lentera Hati, 2002, Volume 10, Hlm : 243-246
[10] Ibid, Hlm : 247-248
[11] Ibid, Hlm : 260-264

0 komentar:

Posting Komentar