![]() |
Add caption |
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Kitab
Al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an wa al-Mubayyin Lima Tadhammanahu min as-Sunnah wa
Ayi al-Furqan dan lebih dikenal dengan nama Tafsir al-Qurtubi adalah karangan
Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar ibn Farrah al-Ansari
al-Khazraji al-Andalusi al-Qurtubi.
Beliau
adalah seorang terkenal dengan sikap tawadhu’, ‘alim, zuhud, berkarisma dan berkomitmen
dalam melakukan amal akhirat untuk dirinya. Beliau sering didapati memakkai
jubbah yang bersih dengan kopyah di atas kepalanya serta seluruh hidupnya
digunakan untuk beribadah kepada Allah. Sisa dari waktunya dihabiskan untuk menulis dan
mengkaji ilmu agama.
Kitab ini terdiri dari 10 jilid dan
seriap jilid ada 2 juz, jadi jumlahnya ada 20 juz tafsir ini lengkap 30 juz.
Kitab tafsir al-Qurthubi ini termasuk kepada kitab tafsir bi al-Ma’tsur
(periwayatan). Karena kebanyakan dalam penafsirannya menampilkan hadis-hadis
nabi dan bahkan sebelum al-Qurthubi mengambil keputusan atau hasil dari
ayat-ayat yang akan ditafsirkan beliau mengemukakan pendapat para ulama.[1]
Adapun sumber tafsirnya adalah:
pertama, Mashodir Asliyah yaitu menafsirkan
al-Quran dengan al-Quran, sunnah Rosululloh, perkataan sahabat dan tabi’in,
kaidah-kaidah kebahasaan dan ijtihad yang di dasarkan pada dalil.
Kedua,
Mashadir Tsanawiyah nya yaitu: Ibnu
Jarir, Ibnu Athiya, Ibnu al Arabi, Ilya Al Harasi, Al Jasshash dan tafsir
ath-thobari.
Hasil
penulisannya, sebagaiman boleh didapati kini cukup memberi manfaat kepada kaum
muslimin sejak ia ditulis hingga hari
ini. Tiada royali, tiada sembarang upah dalam hasil kerjanya semata-mata
mengharap ridho Allah sebagai bekal di akhirat. Kitab tafsirnya ini adalah
sebaik-baik kitab dalam menguraikan ayat al-Qur’an berpandukan nahu Arab dengan
sandaran ayat al-Qur’an, hadits, dan
juga syair Arab. Beliau turut menjelaskan setiap hukum berdasarkan fiqih mazhab
di samping diselitkan panduan dan peringatan dengan hari akhirat.
Berangkat dari pencarian ilmu dari
para Ulama’ (seperti Abu al-Abbas bin Umar al-Qurthubi Abu al-Hasan bin
Muhammad bin Muhammad al-Bakhri), kemudian Imam al-Qurthubi diasumsikan
berhasrat besar untuk menyusun kitab Tafsir yang juga bernuansa fiqh dengan
menampilkan pendapat imam-imam madzhab fiqh dan juga menampilkan hadis yang
sesuai dengan masalah yang dibahas. Selain itu kitab tafsir yang telah ada
sedikit sekali yang bernuansa fiqh. Karena itulah Imam al-Qurthubi menyusun
kitabnya, dan ini akan mempermudah masyarakat, karena disamping menemukan
tafsir beliau juga akan mendapatkan banyak pandangan imam madzhab fiqh,
hadis-hadis Rasulullah saw maupun pandangan para Ulam’ mengenai masalah itu.[2]
B. RUMUSAN
MASALAH
1.
Biografi Imam al-Qurtubi
2.
Tentang tafsir al-Qurtubi
3.
Kelebihan dan kekurangan tafsir al-Qurtubi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Imam
al-Qurtubi
Penulis tafsir al-Qurtubi bernama Imam
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar ibn Farrah al-Ansari al-Khazraji
al-Andalusi al-Qurtubi al-Maliki.
Beliau dilahirkan di Cordova, Andaluisa (Spanyol sekarang). Disanalah beliau
mempelajari Bahasa Arab, Syair, Al-Qur’an Al-Karim, Fiqh, Nahwu, Qira’at,
Balaghah, Ulumul Qur’an dan ilmu-ilmu lainnya. Dan ia juga adalah salah satu
pengikut madzhab fikih yaitu Imam Maliki. Metode penafsirannya akan banyak
mempengaruhi para mufassir setelahnya dengan mengikuti gaya penafsirannya,
seperti halnya Ibn Katsir yang menjadikan kitabnya yang terkenal yaitu al
jami’ li ahkamil Qur’an atau kitab al-Qurtubi sebagai rujukan.[3]
Namun sayangnya para ulama tidak ada
yang tahu dengan pasti mengenai kapan ia dilahirkan, oleh siapa ia dibesarkan
dan apakah ia seorang anak yatim atau tidak namun yang ditulis dalam sejarah
bahwa ia dilahirkan dan dibesarkan oleh bapaknya yang bermata pencaharian
bercocok tanam yang hidup pada zaman dinasti Muwahidun yang kala itu dipimpin
oleh Muhammad bin Yusuf bin Hud. (625-635 H) dikisahkan pada saat itu ayahnya
sedang memanen dan pada waktu itu pula terjadi sebuah pemberontakan kaum
separatis Nashrani Cordova yang menuntut untuk memerdekakan diri dari Islam.
Dalam kehidupannya sehari-hari
beliau mempunyai sifat yang unik yang memang tidak semua orang memiliknya
sehingga beliau banyak dikenal akan sikap ketawaduanya, kealimannya,
kezuhudannya, berkarisma dan komited dalam melakukan amal akhirat untuk
dirinya. Seperti yang pernah dikatakan oleh mufassir Adz-Dzaidah bahwa ia
sering terlihat ketika memakai sehelai jubah yang bersih dengan kopiah di atas
kepalanya serta seluruh hidupnya digunakan untuk beribadat kepada Allah. Sisa
dari waktunya dihabiskan untuk menulis dan mengkaji ilmu agama ”Dia adalah
seorang ulama besar yang tawadu dan lebih mementingkan ilmu pengetahuan
terlebih kepada tafsir dan hadits yang menghasilkan karya yang jauh lebih baik
pada masanya.”
Terlepas dari itu, al-Qurtubi kecil
mempelajari berbagai disiplin ilmu ditempat ia dilahirkan kepada para gurunya
yang sangat membantunya ialah Ibn Rawwa (seorang Imam hadits), Ibn al-Jumaizi,
al-Hassan al-Bakari dsb. Diantara ilmu-ilmu yang ia pelajari ialah tentang
keagamaan seperti bahasa arab, Hadits, syair, dan al-qur’an. Disamping itu pula
ia banyak belajar dan mendalami ilmu yang menjadi pendukung ilmu Qur’an yakni dengan
belajar nahwu, qira’at, fikih dan juga ia mempelajari ilmu balagh.
Setelah ia tumbuh dewasa dan merasa
kurang dalam mendalami ilmunya itu, kemudian dia pergi ke mesir (yang pada
waktu itu kekuasaan dipegang oleh Dinasti Ayyubiah) dan ia menetap disana
sampai ajal menjemputnya pada malam senin 9 syawal 671 H/1273 M dan makamnya
sendiri berada di elmania, di timur sungai Nil. Berkat pengabdiannya terhadap
ilmu agama dan keinginannya dalam memajukan peradaban Islam, para penduduk
disana sangat menghormati jasa beliau sehingga makamnya-pun sering diziarahi
oleh banyak orang.[4]
Aktifitasnya dalam mencari ilmu ia
jalani dengan serius di bawah bimbingan ulama yang ternama pada saat itu,
diantaranya adalah al-Syaikh Abu al-Abbas Ibn ‘Umar al-Qurtubi dan Abu Ali
al-Hasan Ibn Muhammad al-Bakri. Beberapa karya penting yang dihasilkan oleh
al-Qurtubi adalah al-Jami’ li Ahkam al-Quran, al-Asna fi Syarh Asma Allah
al-husna, Kitab al-Tazkirah bi Umar al-Akhirah, Syarh al-Taqassi,Kitab
al-Tizkar fi Afdal al-Azkar, Qamh al-Haris bi al-Zuhd wa al-Qana’ah dan Arjuzah
Jumi’a Fiha Asma al-Nabi.
Diantara
guru-guru Imam Al-Qurthubi adalah :
1.
Ibnu Rawwaj, Imam Al-Muhaddits Abu Muhammad Abdul Wahab bin
Rawwaj. Nama aslinya Zhafir bin Ali bin Futuh Al Azdi Al Iskandarani Al-Maliki,
wafatnya tahun 648 H.
2.
Ibnu Al-Jumaizi, Al-Allamah Baha’uddin Abu Al-Hasan
Ali bin Hibatullah bin Salamah Al Mashri Asy-Syafi’I, wafat pada tahun 649 H.
Ahli dalam bidang Hadits, Fiqih dan Ilmu Qira’at.
3.
Abu Al-Abbas Ahmad bin Umar bin Ibrahim Al-Maliki
Al-Qurthubi, wafat pada tahun 656 H. Penulis kitab Al-Mufhim fisyarh Shahih
Muslim.
4.
Al-Hasan Al-Bakari, Al-Hasan bin Muhammad bin Muhammad bin
Amaruk At-Taimi An-Nisaburi Ad-Dimsyaqi atau Abu Ali Shadruddin Al-Bakari,
wafat pada tahun 656 H.[5]
B. Tentang
tafsir al-Qurtubi
1.
Pengenalan Umum Kitab Tafsir Qurtubi
Kitab tafsir ini sering disebut
dengan tafsir al-Qurtubi, hal ini dapat dipahami karena tafsir ini adalah karya
seorang yang mempunyai nisbah nama al-Qurtubi atau bisa juga karena dalam
halaman sampul kitabnya sendiri tertulis judul, tafsir al-Qurtubi al-Jami’ li
Ahkam Al-Qur’an. Jadi, tidak sepenuhnya salah apabila seseorang menyebut tafsir
ini dengan sebutan tafsir al-Qurtubi bila yang dimaksud adalah tafsir karya
al-Qurtubi tersebut. Judul lengkap tafsir ini adalah al-Jami’ li Ahkam al-Quran
wa al Mubayyin lima Tadammanah min al-Sunnah wa Ayi al-Furqan yang berarti
kitab ini berisi himpunan hukum-hukum al-Quran dan penjelasan terhadap isi
kandungannya dari al-Sunnah dan ayat-ayat al-Quran. Dalam muqaddimahnya
penamaan kitab ini didahului dengan kalimat Sammaitu….(aku namakan). Dengan
demikian dapat dipahami bahwa judul tafsir ini adalah asli dari pengarangnya
sendiri.
Didalam karya-karyanya itu al-Qurtubi
mempunyai metode penafsiran yang sama seperti halnya at-Thabari, karena al-Qurtubi
sangat terpengaruh dengan penafsiran at-Thabari. Akan tetapi ia sendiri
mempunyai ciri khas dalam menafsirkan al-Qur’an khususnya dalam kitab al-Jami’
li Ahkamil Qur’an .
Di dalam kitab ini ia menggunakan
metode tafsir bil ma’tsur yakni metode tafsir untuk menafsirkan ayat al Qur’an
dengan riwayat-riwayat lainnya dari para ulama sebelumnya. Kemudian dimana
letak keunikan dalam kitab tersebut?.
Dalam kitab tersebut kita akan
melihat bahwa tafsir-tafsir yang beliau gunakan dengan cara memuat hukum-hukum
yang terdapat dalam al-Qur’an dengan pembahasan yang lebih luas yang menyatukan
hadits dengan masalah-masalah ibadah, hukum, dan linguistic. Tidak hanya sampai
disana, hadits-hadits yang digunakannya yang ada dalam tafsirnya itu sudah
ditakhrij dan disandarkan langsung kepada orang yang meriwayatkannya.
Lebih dari itu, kitab tafsir yang
memuat banyak hukum itu tidak memuat kisah-kisah Israiliyat seperti yang ada
dalam tafsir at-Thabari. Dalam hal ini al-Qurtubi tidak terpengaruh oleh
at-Thabari walaupun ia sedikit banyak telah terpengaruh oleh metode tafsir
at-Thabari.[6]
2.
Latar Belakang Penulisan Tafsir
al-Qurthubi
Berangkat dari pencarian ilmu dari
para Ulama’ (seperti Abu al-Abbas bin Umar al-Qurthubi Abu al-Hasan bin
Muhammad bin Muhammad al-Bakhri), kemudian Imam al-Qurthubi diasumsikan
berhasrat besar untuk menyusun kitab Tafsir yang juga bernuansa fiqih dengan
menampilkan pendapat imam-imam madzhab fiqih dan juga menampilkan hadis yang
sesuai dengan masalah yang dibahas. Selain itu kitab tafsir yang telah ada
sedikit sekali yang bernuansa fiqh. Karena itulah Imam al-Qurthubi menyusun
kitabnya, dan ini akan mempermudah masyarakat, karena disamping menemukan
tafsir beliau juga akan mendapatkan banyak pandangan imam madzhab fiqih,
hadis-hadis Rasulullah saw maupun pandangan para Ulama’ mengenai masalah itu.
3.
Sumber Tafsir
Kitab ini terdiri dari 10 jilid dan
seriap jilid ada 2 juz, jadi jumlahnya ada 20 juz tafsir ini lengkap 30 juz. Kitab
tafsir al-Qurthubi ini termasuk kepada kitab tafsir bi al-Ma’tsur
(periwayatan). Karena kebanyakan dalam penafsirannya menampilkan hadis-hadis
nabi dan bahkan sebelum al-Qurthubi mengambil keputusan atau hasil dari ayat-ayat
yang akan ditafsirkan beliau mengemukakan pendapat para ulama.
Adapun
sumber tafsir (Mashadir tafsir) nya adalah:
a.
Mashadir Asliyah yaitu menafsirkan al-Quran dengan al-Quran,
sunnah Rosululloh, perkataan sahabat dan tabi’in, kaidah-kaidah kebahasaan dan
ijtihad yang di dasarkan pada dalil
b.
Mashadir Tsanawiyah nya yaitu: Ibnu Jarir, Ibnu Athiya, Ibnu
al Arabi, Ilya Al Harasi, Al Jasshash dan tafsir ath-thobari.[7]
4.
Sistematika
Dalam
penulisan kitab tafsir dikenal adanya tiga sistimatika
a.
Sistimatika Mushafi
Yaitu
penyusunan kitab tafsir dengan berpedoman pada tertib susunan ayat-ayat dan
surat-surat dalam mushaf, dengan dimulai dari surat al-Fatihah, al-Baqarah dan
seterusnya sampai surat an-Nas.
b.
Sistimatika Nuzuli
Yaitu dalam
menafsirkan Al Qur’an berdasarkan kronologis turunnya surat-surat Al Qur’an,
contoh mufassir yang memakai sistimatika ini adalah Muhammad ‘Izzah Darwazah dengan
tafsirnya yang berjudul al-Tafsir al-Hadits.
c.
Sistimatika Maudhu’i
Yaitu
penafsiran al-Quran berdasarkan topik-topik tertentu dengan mengumpulkan
ayat-ayat yang ada hubungannya dengan topik tertentu kemudian ditafsirkan.
Al-Qurthubi
menjelaskan metode yang dipergunakan dalam tafsir-nya, antara lain:
·
Menjelaskan sebab turunnya ayat
·
Menyebutkan perbedaan bacaan dan bahasa serta menjelaskan
tata bahasanya
·
Mengungkapkan periwayatan hadits, mengungkapkan lafaz-lafaz
yang gharib di dalam Al Qur’an, memilah-milih perkataan fuqaha, dan
mengumpulkan pendapat ulama salaf dan pengikutnya.
Argumentasi-argumentasinya
banyak dikuatkan dengan sya’ir arab, mengadopsi pendapat-pendapat ahli tafsir
pendahulunya setelah menyari dan mengomentarinya, seperti Ibnu Jarir, Ibnu
Athiya, Ibnu al-Arabi, Ilya al-Harasi, al-Jasshash. Al-Qurthubi juga dalam
metode penafsirannya menconter kisah-kisah ahli tafsir, riwat-riwat ahli
sejarah dan periwayat-periwayat Israiliyat, sekalipun banyak juga mengambil
dari sisi-sisi itu dalam tafsirnya. Dan ia juga menantang pendapat-pendapat
filosof, mu’tazila dan sufi kolotan serta aliran-aliran lainnya.
Ia
menyebutkan pendapat-pendapat ulama mazhab dan mengomentarinya, ia juga tidak
ta’assub dengan mazhab Malikianya. Sebaliknya Al-Qurthubi terbuka dalam
tesisnya, jujur dalam argumentasinya, santun dalam mendebat musuh-musuhnya
dengan penguasaan ilmu tafsir dan segala perangkapnya, serta penguasaan ilmu
syariat yang mendalam.
Metode
pembahasannya merupakan kepiawaian dan posisinya dibisang tafsir dan
pengambilan hukum dari ayat-ayat al-Qur’an sebagai sumber pertama humum Islam.
Adapun metode yang dipakai dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yakni metode
tematik atau maudhu’, karena sisitematikanya dalam melakukan penafsiran
terhadap ayat al-Qur’an dengan menjelaskan kosa kata yang rumit.
5.
Metode Penafsirannya
Metode yang dipergunakan oleh para
mufasir, menurut al-Farmawi, dapat diklasifikasikan menjadi empat:
a.
Metode Tahlili[8]
Dimana dengan menggunakan metode ini
mufasir-mufasir berusaha menjelaskan seluruh aspek yang dikandung oleh
ayat-ayat al-Quran dan mengungkapkan segenap pengertiann yang dituju. Keuntungan
metode ini adalah peminat tafsir dapat menemukan pengertian secara luas dari
ayat-ayat al-Quran.
b.
Metode Ijmali
Yaitu ayat-ayat al-Quran dijelaskan
dengan pengertian-pengertian garis besarnya saja, contoh yang sangat terkenal
adalah Tafsir Jalalain.
c.
Metode Muqaran
Yaitu menjelaskan ayat-ayat al-Quran
berdasarkan apa yang pernah ditulis oleh Mufasir sebelumnya dengan cara
membandingkannya.
d.
Metode Maudlu’i
Yaitu dimana seorang mufasir
mengumpulkan ayat-ayat di bawah suatu topik tertentu kemudian ditafsirkan.
Metode yang dipakai al-Qurtubi dalam
kitab tafsirnya adalah metode tahlili, karena ia berupaya menjelaskan seluruh
aspek yang terkandung dalam al-Quran dan mengungkapkan segenap pengertian yang
dituju. Sebagai contoh dari pernyataan ini adalah ketika ia menafsirkan surat al-Fatihah
di mana ia membaginya menjadi empat bab yaitu; bab Keutamaan dan nama surat
al-Fatihah, bab turunnya dan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya, bab
Ta’min, dan bab tentang Qiraat dan I’rab, yang masing-masing dari bab tersebut
memuat beberapa masalah.
6.
Corak Penafsiran
Para pengkaji tafsir memasukkan
tafsir karya al-Qurtubi kedalam tafsir yang bercorak Fiqhi, sehingga sering
disebut sebagai tafsir ahkam. Karena dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran lebih
banyak dikaitkan dengan persoalan-persoalan hukum.[9]
Sebagai contoh dapat dilihat ketika
menafsirkan surat al-Fatihah. al-Qurtubi mendiskusikan persoalan-persoalan fiqih,
terutama yang berkaitan dengan kedudukan basmalah ketika dibaca dalam shalat,
juga persoalan fatihah makmum ketika shalat dzuhur. Terhadap ayat yang
sama-sama dari kelompok Mufasir ahkam hanya membahasnya secara sepintas,
seperti yang dilakukan oleh Abu Bakr al-Jassas. Ia tidak membahas surat ini
secara khusus, tetapi hanya menyinggung dalam sebuah bab yang diberi judul Bab
Qira’ah al-Fatihah fi al-salah.
Contoh lain
dimana al-Qurtubi memberikan penjelasan panjang lebar mengenai
persoalana-persoalan fiqih dapat diketemukakan ketika ia membahas ayat Qs.
Al-Baqarah 43:
وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ
الرَّاكِعِينَ (٤٣)
“Dan
dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang
ruku’”
Ia membagi
pembahasan ayat ini menjadi 34 masalah. Diantara pembahasan yang menarik adalah
masalah ke-16. ia mendiskusikan berbagai pendapat tentang status anak kecil
yang menjadi Imam salat. Di antara tokoh yang mengatakan boleh adalah al-Sauri,
Malik dan Ashab al-Ra’y. Dalam masalah ini, al-Qurtubi berbeda pendapat dengan
mazhab yang dianutnya, dengan pernyataannya:
إمامة الصغير جائزة إذا كان قارئا
(Anak
kecil boleh menjadi imam jika memiliki bacaan yang baik)
Dalam kasus
lain ketika ia menafsirkan Qs. Al-Baqarah: 187
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ
الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ ….
“Dihalalkan
bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu;…”
Ia
membaginya menjadi 36 masalah. Pada pembahsan ke-12, ia mendiskusikan persoalan
makannya orang yang lupa pada siang hari di bulan Ramadhan. Ia berpendapat
orang tersebut tidak berkewajiban berkewajiban mengganti puasanya, yang berbeda
dengan pendapat Malik sebagai imam mazhabnya. Dengan pernyataannya:
إن من أكل أو شرب ناسيا فلا قضاء عليه
وإن صومه تام
“Sesungguhnya
orang yang makan atau minum karena lupa, maka tidak wajib baginya menggantinya
dan sesungguhnya puasanya adalah sempurna”
Bila
dicermati dari contoh-contoh penafsiran di atas, di satu sisi menggambarkan
betapa al-Qurtubi banyak mendiskusikan persoalan-persoalan hukum yang
menjadikan tafsir ini termasuk ke dalam jajaran tafsir yang bercorak hukum. Disisi
lain, dari contoh-contoh tersebut juga terlihat bahwa al-Qurtubi yang bermazhab
Maliki ternyata tidak sepenuhnya berpegang teguh dengan pendapat imam
mazhabnya.
7.
Karakteristiknya
Persoalan menarik yang terdapat
dalam tafsir ini dan perlu untuk dicermati adalah pernyataan yang dikemukakan
oleh al-Qurtubi dalam muqaddimah tafsirannya yang berbunyi:
“Syarat saya dalam kitab ini adalah
menyandarkan semua perkkataan kepada orang-orang yang mengatakannya dan berbagi
hadits pada pengarangnya karena dikatakan bahwa diantara berkah ilmu adalah
menyandarkan perkataaan kepadaa orang yang mengatakan.”
8.
Langkah-langkah penafsirannya
Langkah-langkah yang dilakukan oleh
al-Qurtubi dalam menafsirkan al-Quran dapat dijelaskan dengan perincian sebagai
berikut:
a.
Memberikan kupasan dari segi bahasa.
b.
Menyebutkan ayat-ayat lain yang berkaitan dan hadits-hadits
dengan menyebut sumbernya sebagai dalil.
c.
Mengutip pendapat ulama dengan menyebut sumbernya sebagai
alat untuk menjelaskan hukum-hukum yang berkaitan dengan pokok bahasan.
d.
Menolak pendapat yang dianggap tidak ssesuai dengan ajaran
Islam.
e.
Mendiskusikan pendapat ulaam dengan argumentasi masing-masing,
setelah itu melakukan tarjih dengan mengambil pendapat yang dianggap paling
benar.
Langkah-langkah yang ditempuh
al-Qurtubi ini masih meungkin diperluas lagi dengan melakuakan penelitian yang
lebih seksama. Suatu hal yang sangat menonjol adalah adanya penjelasan lebar
mengenai persoalan fiqhiyah merupakan hal yang sangat mudah ditemui dalam
tafsir ini.
9.
Kelebihan dan kekurangan tafsir
al-Qurtubi
Imam Adz-Dzahabi pernah berkata, "Al-Qurthubi
telah mengarang sebuah kitab tafsir yang sangat spektakuler, namun memiliki
kelebihan dan kekurangan didalam kitab tafsirnya.”
Diantara kelebihanya:
a.
Menghimpun ayat, hadits dan aqwal ulama pada masalah-masalah
hukum. Kemudian beliau mentarjih salah satu di antara aqwal tersebut.
b.
Sarat dengan dalil-dalil ‘aqli dan naqli.
c.
Tidak mengabaikan bahasa Arab, sya’ir Arab dan sastra Arab.
d.
Ibnu Farhun berkata: “Tafsir yang paling bagus dan paling
banyak manfaatnya, membuang kisah dan sejarah, diganti dengan hukum dan istimbat
dalil, serta menerangkan i’rob, qiroat, nasikh dan mansukh”
Diantara kekurangannya:
a.
Banyak mencantumkan hadits-hadits dha’if tanpa diberi
komentar (catatan), padahal beliau adalah seorang muhaddits (ahli hadits).
b.
Penulis menta’wil beberapa ayat yang berbicara tentang sifat
Allah SWT.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari persoalan-pesoalan yang telah
diuraikan dalam beberapa bab di atas dapat dicatat bahwa:
1.
Al-Qurtubi pengarang kitab tafsir al-Jami’ li Ahkam
al-Qur’an adalah seorang mufasir yang bermazhab Maliki yang hidup di Andalus.
2.
Tafsir yang ditulisnya tersebut menggunakan sistematika
Mushafi, metode Tahlili, berbentuk tafsir matsur dan bercorak fiqhi mazhab
Maliki dengan tidak terlalu terkait dengan mazhabnya.
3.
Adanya sejumlah keberatan terhadap model penafsiran yang dilakukan
oleh ahli hukum, karena terlalu bersifat atomistis dan harfiah sehingga sering
mengaburkan program besar al-Quran sebagai petunjuk dan pengatur seluruh aspek
kehidupan.
4.
Perbedaan yang mencolok antara kitab tafsir al-Jami’ li
Ahkam al-Qur’an dengan kitab tafsir ahkam al-Qur'an sebelumnya adalah kitab
tafsir ini lebih istimewa karena tidak terbatas menafsirkan ayat-ayat hukum dan
persoalan fiqih saja, tetapi lebih dari itu tafsir ini mencakup semua aspek
tafsir dan ayat-ayat yang tidak berkenaan dengan hukum juga ditafsirkan oleh
Qurthubi. Dan juga al-Qurtubi didalam
penafsirannya tidak ta’asub dengan mahzab Maliki.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Babani, Hidayyatul
‘Arifin, Juz 2
Al-Qurtubi, Abdullah
bin Muhammad bin Ahmad al-Ansari, Al-Jami’ Li Ahkam Al-Quran, Beirut:
Dar Al-Fikri, 1998,
Az-Zirikli,
Al-A’lam, Juz 5
Mu’min, Ma’mun, Ilmu
Tafsir, Stain Kudus, Kudus
http://stainkudus.ac.id/
[1] Abdullah bin Muhammad bin Ahmad al-Ansari
al-Qurtubi, Al-Jami’ Li Ahkam Al-Quran, Beirut: Dar Al-Fikri, 1998, hlm:
3
[2] Ibid, hlm: 4
[4] Az-Zirikli, Al-A’lam, Juz 5,
hlm: 322
[5] Al-Babani, Hidayyatul ‘Arifin,
Juz 2, hlm: 129
[6] Op.Cit, hlm: 4
[8] Ma’mun Mu’min, Ilmu Tafsir,
Stain Kudus, Kudus, hlm: 185-195
[9] Ibid, hlm: 199-200
0 komentar:
Posting Komentar