PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Manusia adalah makhluk hidup yang
tidak dapat hidup dengan sendiri. Dalam hidup bermasyarakat, kita sebagai
manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan
satu sama lain. Dalam kehidupannya manusia memiliki keinginan untuk
bersosialisasi dengan sesamanya hal ini merupakan kodrat manusia yang selalu
ingin berinteraksi dengan manusia lain.
Interaksi antar manusia
menimbulkan sebuah simpati antar keduanya yang murujuk pada suatu tindakan
sosial yang disebut dengan solidaritas. Solidaritas merupakan sesuatu yang
sangat dibutuhkan dalam sebuah kelompok sosial, karena dengan adanya
solidaritas suatu kelompok akan memiliki suatu peranan moral dan kepecayaan
yang dianut bersama, yang diperkuat oleh peranan pengalaman emosional bersama,
yang menimbulkan kekokohan suatu kelompok tersebut.[1]
Bagaimanakah uraian ayat dan teori sosiologi yang bersangkutan dengan
solidaritas?.
PEMBAHASAN
A.
Ayat tentang solidaritas
وَإِنْ
طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ
بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الأخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ
إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ
وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (٩) إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ
إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ
تُرْحَمُونَ (١٠)
“Dan jika ada dua
golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduannya.
Jika salah satu golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka
perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali
kepada perintah Allah, jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah),
maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adilah. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang mukmin
adalah saudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah
kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.”
B.
Tafsir Kata
(وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا
بَيْنَهُمَا) = Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin
berperang, maka damaikanlah antara keduannya. Allah menyebutkan mereka sebagai orang-orang mukmin,
padahal mereka berperang satu sama lainnya. Berdasarkan ayat ini Imam Bukhari
dan lainya menyimpulkan bahwa maksiat itu tidak mengeluarkan orang yang
bersangkutan dari keimanannya, betapapun besarnya maksiat itu.
(فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الأخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي
حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ) = Jika salah satu golongan itu berbuat aniaya terhadap
golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga
golongan itu kembali kepada perintah Allah. Yaitu hingga keduannya kembali taat
kepada Allah dan Rasulnya, serta mau mendengar perkara yang hak dan mau
menaatinya.[2]
(فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ
وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ) = jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah),
maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adilah. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Berlaku adilah dalam
menyelesaikan persengketaan kedua belah pihak. Berkaitan dengan kerugian yang
dialami oleh salah satu pihak akibat
ulah pihak lain, maka putuskanlah hal itu dengan adil dan bijaksana.
(إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ) = Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah saudara. Yaitu
semuanya adalah saudara seagama, seperti
sabda Rasullah SAW “orang muslim itu adalah saudara muslim lainnya, ia tidak
boleh berbuat aniaya terhadapnya dan tidak boleh menjerumuskannya”.
(فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ) = karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu. Yaitu
diantara kedua golongan yang berperang itu.
(وَاتَّقُوا اللَّهَ) = dan bertaqwalah kepada Allah. Bertaqwa dalam semua urusan.
(لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ) = supaya kamu mendapat rahmat. Ini merupakan pernyataan dari
Allah SWT yang mengandung kepstian bahwa dia pasti memberikan rahmatnya kepada
yang betaqwa kepadannya.[3]
C.
Asbabun Nuzul
Al-Bukhari berkata: Musaddad
menceritakan kepada kami; Mu’tamir menceritakan kepada kami, ia berkata: aku
mendengar ayahku bahwa Anas r.a berkata: “Ada yang berkata kepada Nabi saw”. “Sekiranya
engkau mendatangi ‘Abdullah bin Ubay,’ Nabi SAW. lalu bertolak kepadanya dengan
mengendarai keledai dan kaum Muslimin juga bertolak berjalan bersama beliau di
sebuah tanah lembab dan asin (yang tidak dapat digarap). Tatkala Nabi SAW.
mendatanginya, ia (‘Abdullah bin Ubay) berkata, ‘Menjauhlah dariku, demi Allah
bau busuk keledaimu telah menggangguku.” Maka salah seorang Anshar dari mereka
berkata, “Demi Allah, sungguh keledai Rasulullah SAW lebih harum baunya
daripada kamu.” Lalu salah seorang dari kaumnya marah untuk (membela)
‘Abdullah, sehingga keduanya saling mencaci dan diikuti oleh kemarahan para
sahabat kedua orang itu. Sehingga terjadi saling pukul antara keduanya dengan
pelepah kurma, sandal dan tangan. Kemudian sampailah (berita) kepada kami bahwa
telah turun ayat: ‘Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin
berperang, maka damaikanlah antara kedunya.[4]
D.
Tafsir Ayat
Ayat ini dengan jelas menerangkan
bahwa kalau dua golongan kaum mukmin bersengketa hingga menimbulkan perang,
maka kewajiban bagi orang Islam untuk mendamaikan dengan
segera kedua golongan yang berperang itu.[5] Dengan
demikian, maka perdamaian merupakan tujuan dalam Islam.
Hal ini juga terlihat dari
penjelasan Prof. Hasbi ash-Shiddieqy bahwa: “Dalam ayat ini, Allah
menjelaskan bagaimana para mukmin mendamaikan dua golongan yang bersengketa dan
menyuruh para mukmin memerangi golongan yang kembali membuat aniaya (zalim)
sesudah diadakan perdamaian, sehingga dengan demikian mereka bisa kembali
kepada perdamaian yang mereka langgar. Perdamaian, sebagaimana wajib kita
lakukan antara dua golongan yang bermusuhan, begitu pula antara dua orang
bersaudara yang bersengketa. Pada akhirnya Allah menyuruh kita bertaqwa
kepada-Nya dan mengakui hukum-Nya.[6]
Ternyata, perintah mendamaikan antara yang bertikai tak semata mendamaikan
kedua kelompok mukmin saja. Kata ikhwah dalam al-Qur’an yang hanya
terulang tujuh kali dalam al-Qur’an ternyata berbeda maknanya dengan
kata ikhwah dalam al-Hujurât ini. “Hal ini agaknya untuk
mengisyaratkan bahwa persaudaraan yang terjalin antara sesama Muslim, adalah
persaudaraan yang dasarnya berganda. Pertama, atas dasar persamaan iman, dan
kali ke-dua adalah persaudaraan seketurunan, walaupun yang kedua ini bukan
dalam pengertian yang hakiki. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk
memutuskan hubungan persaudaraan itu”.[7]
Adapun penggunaan bentuk dual pada kata akhawaikum di sini
memberi arti bahwa jangankan antara banyak orang, dua pun, jika mereka
berselisih harus di-ishlâh-kan. Sehingga harmonislah hubungan mereka. Oleh
karena semua dipandang bersaudara, maka “damaikanlah di antara saudara-sauramu
yang se-agama itu, sebagaimana kamu mendamaikan saudaramu yang seketurunan”. Quraish Shihab menutup tafsirannya terhadap ayat ini
dengan penekanan bahwa Islam jelas-jelas menuntut terbentuknya kesatuan dan
kesatuan, bukan sebaliknya. Problem jika ada yang mengkhianati, maka
perangilah, namun dengan tujuan agar mereka kembali, bukan membasmi apalagi
melakukan pelanggaran-pelanggaran berat yang sering terjadi dalam peperangan
seperti genosida dan sebagainya. Islam memiliki ketentuan-ketentuan hukum dalam
hal ini.
Sedangkan dalam ayat ke 10 adalah Implikasi dari persaudaraan ini
ialah hendaknya rasa cinta, perdamaian, kerja sama dan persatuan menjadi
landasan utama masyarakat muslim. Hendaklah perselisihan atau perang merupakan
anomali yang mesti dikembaikan kepada landasan tersebut begitu suatu kasus
terjadi. Dibolehkan memerangi kaum mukmin lain yang bertindak zalim kepada
saudaranya agar mereka kembali kepada barisan muslim. Juga agar mereka
melenyapkan anomali itu berdasarkan prinsip dan kaidah Islam. Itulah penanganan
yang tegas dan tepat.
E.
Teori Ashabiyah
Secara etimologis ashabiyah berasal dari kata ashaba yang
berarti mengikat. Secara fungsional ashabiyah menunjuk pada ikatan sosial
budaya yang dapat digunakan untuk mengukur kekuatan kelompok sosial. Secara
terminologi “Ashabiyah” adalah solidaritas kelompok antar teman, saudara maupun
tetangga dimana mereka saling menyayangi, saling mencintai, saling membantu
serta mengerti perasaan satu sama lain hingga keinginan untuk membela salah
satu darinya ketika diperlakukan tidak adil atau disakiti. Selain itu, ashabiyah juga
dapat dipahami sebagai solidaritas sosial, dengan menekankan pada kesadaran,
kepaduan dan persatuan kelompok.
Ibnu Khaldun membagi istilah ashabiyah menjadi dua macam pengertian. Pertama, Pengertian ashabiyah bermakna positif dengan menunjuk pada konsep persaudaraan.
Dalam sejarah peradaban Islam konsep ini membentuk solidaritas sosial
masyarakat Islam untuk saling bekerjasama, mengesampingkan kepentingan pribadi,
dan memenuhi kewajiban kepada sesama. Semangat ini kemudian mendorong
terciptanya keselarasan sosial dan menjadi kekuatan yang sangat dahsyat dalam
menopang kebangkitan dan kemajuan peradaban. Kedua, pengertian ashabiyah bermakna
negatif, yaitu menimbulkan kesetiaan dan fanatisme membuta yang tidak
didasarkan pada aspek kebenaran. Konteks pengertian yang kedua inilah yang
tidak dikehendaki dalam sistem pemerintahan Islam. Karena akan mengaburkan
nilai-nilai kebenaran yang diusung dalam prinsip-prinsip agama.[8]
F.
Analisis
Ayat di atas menerangkan bahwa
menjelaskan bagaimana para mukmin mendamaikan dua golongan yang bersengketa dan
menyuruh para mukmin memerangi golongan yang kembali membuat aniaya (zalim)
sesudah diadakan perdamaian, sehingga dengan demikian mereka bisa kembali
kepada perdamaian yang mereka langgar. Perdamaian, sebagaimana wajib kita
lakukan antara dua golongan yang bermusuhan, begitu pula antara dua orang
bersaudara yang bersengketa. Pada akhirnya Allah menyuruh kita bertaqwa kepada-Nya
dan mengakui hukum-Nya.
Ternyata, perintah mendamaikan
antara yang bertikai tak semata mendamaikan kedua kelompok mukmin saja.
Kata ikhwah dalam al-Qur’an yang hanya terulang tujuh kali dalam
al-Qur’an ternyata berbeda maknanya dengan kata ikhwah dalam
al-Hujurât ini. “Hal ini agaknya untuk mengisyaratkan bahwa persaudaraan
yang terjalin antara sesama Muslim, adalah persaudaraan yang dasarnya berganda.
Pertama, atas dasar persamaan iman, dan kali ke-dua adalah persaudaraan
seketurunan, walaupun yang kedua ini bukan dalam pengertian yang hakiki. Dengan
demikian, tidak ada alasan untuk memutuskan hubungan persaudaraan itu”.
Ibnu Khaldun dalam al-Muqaddimah dengan teori yang paling terkenal yaitu “Ashabiyah”. Ashabiyah adalah solidaritas kelompok antar teman,
saudara maupun tetangga dimana mereka saling menyayangi, saling mencintai,
saling membantu serta mengerti perasaan satu sama lain hingga keinginan untuk
membela salah satu darinya ketika diperlakukan tidak adil atau disakiti. Selain
itu, Ashabiyah juga dapat dipahami sebagai solidaritas sosial, dengan
menekankan pada kesadaran, kepaduan dan persatuan kelompok.[9]
Pada ayat 9 surat al-hujurat yang
berbunyi:
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا
بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الأخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي
تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا
بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (٩)
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu’min
berperang, maka damaikanlah antara keduannya. Jika salah satu golongan itu
berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang
berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah, jika
golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara
keduanya dengan adil dan berlaku adilah.
Ayat di atas merupakan suatu perwujudan dari solidaritas suatu individu, yang mana
ketika terjadi peperangan ataupun perselisihan yang melibatkan dua golongan
yang berasal dari sesama kaum/golongan individu tersebut, maka peranan dari
individu tersebut adalah mendamaikan antar keduanya. Hal ini menunjukan sikap
solidaritas yang tumbuh pada suatu individu atas dasar rasa sayang, cinta, dan
perasaan yang sama untuk membantu sesamanya ketika salah satu darinya
diperlakukan secara tidak adil.
Peranan individu dalam
mendamaikan perselisihan antar golongan merupakan suatu tindakan solidaritas positif
karena merujuk pada konsep persaudaraan untuk bekerjasama denan mengesampingkan
kepentingan pribadi, dan memenuhi kewajiban kepada sesama. Semangat ini
kemudian mendorong terciptanya keselarasan sosial dan menjadi kekuatan yang
sangat dahsyat dalam menopang kebangkitan dan kemajuan peradaban. Hal ini juga
dipertegas ayat 10 surat al-Hujurat:
إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ
لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (١٠)
Sesungguhnya
orang-orang mukmin adalah saudara, karena itu damaikanlah antara kedua
saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.
Maka dari itu, solidaritas antar manusia akan terjalin dengan baik apabila
telah tumbuh rasa sayang, cinta, dan perasaan yang sama untuk membantu
sesamanya ketika salah satu darinya diperlakukan
secara tidak adil dan juga konsep
persaudaraan untuk bekerjasama dengan mengesampingkan kepentingan pribadi, dan memenuhi kewajiban kepada
sesama. Semangat inilah yang kemudian
mendorong terciptanya keselarasan sosial dan menjadi kekuatan yang sangat
dahsyat dalam menopang kebangkitan dan kemajuan peradaban
PENUTUP
A. Kesimpulan
Solidaritas adalah rasa
kebersamaan, persatuan kepentingan, simpati, sebagai salah satu anggota dari kelas
yang sama atau bisa dikatakan perasaan atau ungkapan dalam sebuah kelompok yang
dibentuk oleh kepentingan bersama.
Memahami ayat 9-10 surat
al-Hujurat tentang peranan sebagai individu yang harus memiliki sifat
solidaritas yang tinggi terhadap teman, saudara maupun tetangga dimana mereka
saling menyayangi, saling mencintai, saling membantu serta mengerti perasaan
satu sama lain hingga keinginan untuk membela salah satu darinya ketika
diperlakukan tidak adil atau disakiti.
Solidaritas sangat diperlukan
untuk memperkuat persaudaraan dan kesolidan bersosialisasi dengan teman,
saudara, keluarga, dan terlebih kepada seluruh masyarakat.
DAFTAR PUSTKA
Ash-Shiddieqy, Hasbi, Tafsir an-Nur, Pustaka Rizki Putra, Semarang,
2000
Ghoffar,
M. Abdul, Lubaabut Tafsir Min Ibnu Katsiir,
Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Bogor, 2004
Hadi, Muqbil bin, Shohih Asbabun-Nuzul, Meccah, Depok
Hasan, Abdul Halim, Tafsir Ahkam, Kencana, Jakarta, 2006
Johnson,
Doyle Paul, Teori Sosiologi Klasik Dan Modern,
Gramedia, Jakarta, 1988
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Mishbah, Volume 13, Lentera Hati, Jakarta,
2007
Zainuddin,
A. Rahman, Kekuasaan Dan Negara Pemikiran Ibnu Khaldun,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992
[1]
Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik Dan Modern, Gramedia,
Jakarta, 1988, hlm: 181
[2]
M. Abdul Ghoffar, Lubaabut Tafsir Min Ibnu Katsiir, Pustaka Imam Asy-Syafi’i,
Bogor, 2004, Juz 22
[7] M.
Quraish Shihab, Tafsir
al-Mishbah, Volume 13,
Lentera Hati, Jakarta,
2007, cetakan ke VIII, hlm: 248
[8]
A. Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan Negara Pemikiran Ibnu Khaldun, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 1992, Hlm: 160
0 komentar:
Posting Komentar