Selasa, 06 Juni 2017

AYAT-AYAT SOLIDARITAS



PENDAHULUAN
A.      Latar belakang
Manusia adalah makhluk hidup yang tidak dapat hidup dengan sendiri. Dalam hidup bermasyarakat, kita sebagai manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain. Dalam kehidupannya manusia memiliki keinginan untuk bersosialisasi dengan sesamanya hal ini merupakan kodrat manusia yang selalu ingin berinteraksi dengan manusia lain.
Interaksi antar manusia menimbulkan sebuah simpati antar keduanya yang murujuk pada suatu tindakan sosial yang disebut dengan solidaritas. Solidaritas merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam sebuah kelompok sosial, karena dengan adanya solidaritas suatu kelompok akan memiliki suatu peranan moral dan kepecayaan yang dianut bersama, yang diperkuat oleh peranan pengalaman emosional bersama, yang menimbulkan kekokohan suatu kelompok tersebut.[1] Bagaimanakah uraian ayat dan teori sosiologi yang bersangkutan dengan solidaritas?.







PEMBAHASAN

A.      Ayat tentang solidaritas
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الأخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (٩) إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (١٠)
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduannya. Jika salah satu golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah, jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adilah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah saudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.”
B.       Tafsir Kata
(وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا) = Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduannya. Allah menyebutkan mereka sebagai orang-orang mukmin, padahal mereka berperang satu sama lainnya. Berdasarkan ayat ini Imam Bukhari dan lainya menyimpulkan bahwa maksiat itu tidak mengeluarkan orang yang bersangkutan dari keimanannya, betapapun besarnya maksiat itu.
(فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الأخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ) = Jika salah satu golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Yaitu hingga keduannya kembali taat kepada Allah dan Rasulnya, serta mau mendengar perkara yang hak dan mau menaatinya.[2]
(فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ) = jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adilah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Berlaku adilah dalam menyelesaikan persengketaan kedua belah pihak. Berkaitan dengan kerugian yang dialami oleh salah satu  pihak akibat ulah pihak lain, maka putuskanlah hal itu dengan adil dan bijaksana.
(إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ) = Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah saudara. Yaitu semuanya adalah saudara seagama,  seperti sabda Rasullah SAW “orang muslim itu adalah saudara muslim lainnya, ia tidak boleh berbuat aniaya terhadapnya dan tidak boleh menjerumuskannya”.
(فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ) = karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu. Yaitu diantara kedua golongan yang berperang itu.
(وَاتَّقُوا اللَّهَ) = dan bertaqwalah kepada Allah. Bertaqwa dalam semua urusan.
(لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ) = supaya kamu mendapat rahmat. Ini merupakan pernyataan dari Allah SWT yang mengandung kepstian bahwa dia pasti memberikan rahmatnya kepada yang betaqwa kepadannya.[3]
C.      Asbabun Nuzul
Al-Bukhari berkata: Musaddad menceritakan kepada kami; Mu’tamir menceritakan kepada kami, ia berkata: aku mendengar ayahku bahwa Anas r.a berkata: “Ada yang berkata kepada Nabi saw”. “Sekiranya engkau mendatangi ‘Abdullah bin Ubay,’ Nabi SAW. lalu bertolak kepadanya dengan mengendarai keledai dan kaum Muslimin juga bertolak berjalan bersama beliau di sebuah tanah lembab dan asin (yang tidak dapat digarap). Tatkala Nabi SAW. mendatanginya, ia (‘Abdullah bin Ubay) berkata, ‘Menjauhlah dariku, demi Allah bau busuk keledaimu telah menggangguku.” Maka salah seorang Anshar dari mereka berkata, “Demi Allah, sungguh keledai Rasulullah SAW lebih harum baunya daripada kamu.” Lalu salah seorang dari kaumnya marah untuk (membela) ‘Abdullah, sehingga keduanya saling mencaci dan diikuti oleh kemarahan para sahabat kedua orang itu. Sehingga terjadi saling pukul antara keduanya dengan pelepah kurma, sandal dan tangan. Kemudian sampailah (berita) kepada kami bahwa telah turun ayat: ‘Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara kedunya.[4]

D.      Tafsir Ayat
Ayat ini dengan jelas menerangkan bahwa kalau dua golongan kaum mukmin bersengketa hingga menimbulkan perang, maka kewajiban bagi orang Islam untuk mendamaikan dengan segera kedua golongan yang berperang itu.[5] Dengan demikian, maka perdamaian merupakan tujuan dalam Islam.
Hal ini juga terlihat dari penjelasan Prof. Hasbi ash-Shiddieqy bahwa: “Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bagaimana para mukmin mendamaikan dua golongan yang bersengketa dan menyuruh para mukmin memerangi golongan yang kembali membuat aniaya (zalim) sesudah diadakan perdamaian, sehingga dengan demikian mereka bisa kembali kepada perdamaian yang mereka langgar. Perdamaian, sebagaimana wajib kita lakukan antara dua golongan yang bermusuhan, begitu pula antara dua orang bersaudara yang bersengketa. Pada akhirnya Allah menyuruh kita bertaqwa kepada-Nya dan mengakui hukum-Nya.[6]
Ternyata, perintah mendamaikan antara yang bertikai tak semata mendamaikan kedua kelompok mukmin saja. Kata ikhwah dalam al-Qur’an yang hanya terulang tujuh kali dalam al-Qur’an ternyata berbeda maknanya dengan kata ikhwah dalam al-Hujurât ini. “Hal ini agaknya untuk mengisyaratkan bahwa persaudaraan yang terjalin antara sesama Muslim, adalah persaudaraan yang dasarnya berganda. Pertama, atas dasar persamaan iman, dan kali ke-dua adalah persaudaraan seketurunan, walaupun yang kedua ini bukan dalam pengertian yang hakiki. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk memutuskan hubungan persaudaraan itu”.[7]
Adapun penggunaan bentuk dual pada kata akhawaikum di sini memberi arti bahwa jangankan antara banyak orang, dua pun, jika mereka berselisih harus di-ishlâh-kan. Sehingga harmonislah hubungan mereka. Oleh karena semua dipandang bersaudara, maka “damaikanlah di antara saudara-sauramu yang se-agama itu, sebagaimana kamu mendamaikan saudaramu yang seketurunan”. Quraish Shihab menutup tafsirannya terhadap ayat ini dengan penekanan bahwa Islam jelas-jelas menuntut terbentuknya kesatuan dan kesatuan, bukan sebaliknya. Problem jika ada yang mengkhianati, maka perangilah, namun dengan tujuan agar mereka kembali, bukan membasmi apalagi melakukan pelanggaran-pelanggaran berat yang sering terjadi dalam peperangan seperti genosida dan sebagainya. Islam memiliki ketentuan-ketentuan hukum dalam hal ini.
Sedangkan dalam ayat ke 10 adalah Implikasi dari persaudaraan ini ialah hendaknya rasa cinta, perdamaian, kerja sama dan persatuan menjadi landasan utama masyarakat muslim. Hendaklah perselisihan atau perang merupakan anomali yang mesti dikembaikan kepada landasan tersebut begitu suatu kasus terjadi. Dibolehkan memerangi kaum mukmin lain yang bertindak zalim kepada saudaranya agar mereka kembali kepada barisan muslim. Juga agar mereka melenyapkan anomali itu berdasarkan prinsip dan kaidah Islam. Itulah penanganan yang tegas dan tepat.
E.       Teori Ashabiyah
Secara etimologis ashabiyah berasal dari kata ashaba yang berarti mengikat. Secara fungsional ashabiyah menunjuk pada ikatan sosial budaya yang dapat digunakan untuk mengukur kekuatan kelompok sosial. Secara terminologi “Ashabiyah” adalah solidaritas kelompok antar teman, saudara maupun tetangga dimana mereka saling menyayangi, saling mencintai, saling membantu serta mengerti perasaan satu sama lain hingga keinginan untuk membela salah satu darinya ketika diperlakukan tidak adil atau disakiti. Selain itu, ashabiyah juga dapat dipahami sebagai solidaritas sosial, dengan menekankan pada kesadaran, kepaduan dan persatuan kelompok.
 Ibnu Khaldun membagi istilah ashabiyah  menjadi dua macam pengertian. Pertama, Pengertian ashabiyah bermakna positif dengan menunjuk pada konsep persaudaraan. Dalam sejarah peradaban Islam konsep ini membentuk solidaritas sosial masyarakat Islam untuk saling bekerjasama, mengesampingkan kepentingan pribadi, dan memenuhi kewajiban kepada sesama. Semangat ini kemudian mendorong terciptanya keselarasan sosial dan menjadi kekuatan yang sangat dahsyat dalam menopang kebangkitan dan kemajuan peradaban. Kedua, pengertian ashabiyah bermakna negatif, yaitu menimbulkan kesetiaan dan fanatisme membuta yang tidak didasarkan pada aspek kebenaran. Konteks pengertian yang kedua inilah yang tidak dikehendaki dalam sistem pemerintahan Islam. Karena akan mengaburkan nilai-nilai kebenaran yang diusung dalam prinsip-prinsip agama.[8]
F.       Analisis
Ayat di atas menerangkan bahwa menjelaskan bagaimana para mukmin mendamaikan dua golongan yang bersengketa dan menyuruh para mukmin memerangi golongan yang kembali membuat aniaya (zalim) sesudah diadakan perdamaian, sehingga dengan demikian mereka bisa kembali kepada perdamaian yang mereka langgar. Perdamaian, sebagaimana wajib kita lakukan antara dua golongan yang bermusuhan, begitu pula antara dua orang bersaudara yang bersengketa. Pada akhirnya Allah menyuruh kita bertaqwa kepada-Nya dan mengakui hukum-Nya.
Ternyata, perintah mendamaikan antara yang bertikai tak semata mendamaikan kedua kelompok mukmin saja. Kata ikhwah dalam al-Qur’an yang hanya terulang tujuh kali dalam al-Qur’an ternyata berbeda maknanya dengan kata ikhwah dalam al-Hujurât ini. “Hal ini agaknya untuk mengisyaratkan bahwa persaudaraan yang terjalin antara sesama Muslim, adalah persaudaraan yang dasarnya berganda. Pertama, atas dasar persamaan iman, dan kali ke-dua adalah persaudaraan seketurunan, walaupun yang kedua ini bukan dalam pengertian yang hakiki. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk memutuskan hubungan persaudaraan itu”.
Ibnu Khaldun dalam al-Muqaddimah dengan teori yang paling terkenal yaitu “Ashabiyah”. Ashabiyah adalah solidaritas kelompok antar teman, saudara maupun tetangga dimana mereka saling menyayangi, saling mencintai, saling membantu serta mengerti perasaan satu sama lain hingga keinginan untuk membela salah satu darinya ketika diperlakukan tidak adil atau disakiti. Selain itu, Ashabiyah juga dapat dipahami sebagai solidaritas sosial, dengan menekankan pada kesadaran, kepaduan dan persatuan kelompok.[9]
Pada ayat 9 surat al-hujurat yang berbunyi:
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الأخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (٩)
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu’min berperang, maka damaikanlah antara keduannya. Jika salah satu golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah, jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adilah.
Ayat di atas merupakan suatu perwujudan dari solidaritas suatu individu, yang mana ketika terjadi peperangan ataupun perselisihan yang melibatkan dua golongan yang berasal dari sesama kaum/golongan individu tersebut, maka peranan dari individu tersebut adalah mendamaikan antar keduanya. Hal ini menunjukan sikap solidaritas yang tumbuh pada suatu individu atas dasar rasa sayang, cinta, dan perasaan yang sama untuk membantu sesamanya ketika salah satu darinya diperlakukan secara tidak adil.
Peranan individu dalam mendamaikan perselisihan antar golongan merupakan suatu tindakan solidaritas positif karena merujuk pada konsep persaudaraan untuk bekerjasama denan mengesampingkan kepentingan pribadi, dan memenuhi kewajiban kepada sesama. Semangat ini kemudian mendorong terciptanya keselarasan sosial dan menjadi kekuatan yang sangat dahsyat dalam menopang kebangkitan dan kemajuan peradaban. Hal ini juga dipertegas ayat 10 surat al-Hujurat:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (١٠)
Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah saudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.
Maka dari itu, solidaritas antar manusia akan terjalin dengan baik apabila telah tumbuh rasa sayang, cinta, dan perasaan yang sama untuk membantu sesamanya ketika salah satu darinya diperlakukan secara tidak adil dan juga konsep persaudaraan untuk bekerjasama dengan mengesampingkan kepentingan pribadi, dan memenuhi kewajiban kepada sesama. Semangat inilah yang kemudian mendorong terciptanya keselarasan sosial dan menjadi kekuatan yang sangat dahsyat dalam menopang kebangkitan dan kemajuan peradaban



PENUTUP
A.      Kesimpulan
Solidaritas adalah rasa kebersamaan, persatuan kepentingan, simpati, sebagai salah satu anggota dari kelas yang sama atau bisa dikatakan perasaan atau ungkapan dalam sebuah kelompok yang dibentuk oleh kepentingan bersama.
Memahami ayat 9-10 surat al-Hujurat tentang peranan sebagai individu yang harus memiliki sifat solidaritas yang tinggi terhadap teman, saudara maupun tetangga dimana mereka saling menyayangi, saling mencintai, saling membantu serta mengerti perasaan satu sama lain hingga keinginan untuk membela salah satu darinya ketika diperlakukan tidak adil atau disakiti.
Solidaritas sangat diperlukan untuk memperkuat persaudaraan dan kesolidan bersosialisasi dengan teman, saudara, keluarga, dan terlebih kepada seluruh masyarakat.
















DAFTAR PUSTKA

Ash-Shiddieqy, Hasbi, Tafsir an-Nur, Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2000
Ghoffar, M. Abdul, Lubaabut Tafsir Min Ibnu Katsiir, Pustaka Imam  Asy-Syafi’i,  Bogor, 2004
Hadi, Muqbil bin, Shohih Asbabun-Nuzul, Meccah, Depok
Hasan, Abdul Halim, Tafsir Ahkam, Kencana, Jakarta, 2006
Johnson, Doyle Paul, Teori Sosiologi Klasik Dan Modern, Gramedia, Jakarta, 1988
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Mishbah, Volume 13, Lentera Hati, Jakarta, 2007
Zainuddin, A. Rahman, Kekuasaan Dan Negara Pemikiran Ibnu Khaldun, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992

http://stainkudus.ac.id/ 


[1] Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik Dan Modern, Gramedia, Jakarta, 1988, hlm: 181
[2] M. Abdul Ghoffar, Lubaabut Tafsir Min Ibnu Katsiir, Pustaka Imam  Asy-Syafi’i,  Bogor, 2004,  Juz 22
[3] Ibid, juz 22
[4]  Muqbil bin Hadi, Shohih Asbabun-Nuzul, Meccah, Depok, hlm: 387
[5] Abdul Halim Hasan, Tafsir Ahkam, Kencana, Jakarta, 2006, hlm: 568
[6] Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir an-Nur, Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2000, jilid 5, hlm: 3919
[7] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Volume 13, Lentera Hati, Jakarta, 2007, cetakan ke VIII, hlm: 248
[8] A. Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan Negara Pemikiran Ibnu Khaldun, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992, Hlm: 160
[9] Ibid, Hlm: 160

0 komentar:

Posting Komentar