Senin, 05 Juni 2017

CORAK TAFSIR AL-MISBAH








BAB I
PENDAHULUAN



A.      Latar Belakang

Perkembangan penafsiran Al-Qur’an di Indonesia agak berbeda dengan perkembangan yang terjadi di dunia Arab yang merupakan tempat turunnya al Qur’an dan sekaligus tempat kelahiran tafsir Al-Qur’an. Perbedaan tersebut terutama disebabkan oleh perbedaan latar belakang budaya dan bahasa. Karena bahasa Arab adalah bahasa mereka, maka mereka tidak mengalami kesulitan berarti untuk memahami bahasa Al-Qur’an sehingga proses penafsiran juga lumayan cepat dan pesat. Hal ini berbeda dengan bangsa Indonesia yang bahasa ibunya bukan bahasa Arab. Karena itu proses pemahaman Al-Qur’an terlebih dahulu dimulai dengan penerjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia baru kemudian dilanjutkan dengan pemberian penafsiran yang lebih luas dan rinci. Oleh karena itu pula, maka dapat dipahami jika penafsiran Al-Qur’an di Indonesia melalui proses yang lebih lama jika dibandingkan dengan yang berlaku di tempat asalnya.

Perjalanan perkembangan ilmu tafsir dan karya-karya tafsir perlu diperhatikan dan diikuti jejaknya. Meskipun lahirnya bidang ini jauh sebelum para tabi’in dan ulama kontemporer merumuskan dan mengembangkannya, namun minat untuk mengkaji dan merevolusi tidak pernah habis seiring berjalannya zaman. Karya-karya tafsir ulama era at-Thabari, Ibn Katsir, Zamakhsyari dan lainnya tersebut menginspirasi para mufasir baru sebagai penerus untuk mengembangkan model dalam bentuk karya penafsiran, karena menjadi sebuah tuntutan bahwa Al-Qur’an merupakan sumber jawaban atas segala permasalahan dimanapun dan kapanpun.

Indonesia merupakan salah satu bagian terpenting dalam sejarah perkembangan Islam, tidak lepas dari sentuhan tafsir. Sehingga lahirlah berbagai karya tafsir dalam kurun waktu yang berbeda dengan corak, metode, dan subtansinya juga berbeda. Seiring dengan latarbelakang tokoh atau penciptanya serta diwarnai dengan alasan dibuatnya karya tersebut yang beragam pula.

B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana biografi M. Quraish Shihab dan karya-karyanya?

2.      Bagaimana sejarah penulisan Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab?

3.      Bagaimana sistematika, corak penulisan, dan contoh Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab?

4.      Darimana saja sumber rujukan penulisan Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab?




BAB II
PEMBAHASAN


A.      Biografi M. Quraish Shihab

M. Quraish Shihab lahir tanggal 16 Februari 1944 di Rapang, Ujung Pandang, Sulawesi Selatan. Ayahnya bernama Abdurrahman Shihab adalah keluarga keturunan arab yang terpelajar dan menjadi ulama sekaligus guru besar di IAIN Alauddin Ujung Pandang. Sebagai seseorang yang berfikiran maju, Abdurrahman percaya bahwa pendidikan merupakan agen perubahan. Sejak kecil M. Quraish Shihab telah menjalani pergumulan dan kecintaan terhadap Al-Qur’an. Pada umur 6-7 tahun, ia harus mengikuti pengajian Al-Qur’an  yang  diadakan  ayahnya  sendiri. Pada  waktu  itu, selain menyuruh membaca Al-Qur’an, ayahnya juga menguraikan secara sepintas  tentang kisah-kisah dalam Al-Qur’an. Di sinilah mulai tumbuh  benih-benih kecintaan Quraish Shihab kepada Al-Qur’an.[1]

M. Quraih Shihab menyelesaikan sekolah dasarnya di kota Ujung Pandang.  Kemudian ia melanjutkan sekolah menengahnya di kota Malang sambil belajar agama di pesantren Dar al-Hadis al-Fiqhiyah.[2] Pada tahun 1958, ketika berusia 14 tahun, ia berangkat ke Kairo, Mesir untuk melanjutkan studi, dan diterima di kelas II  Tsanawiyah Al-Azhar. Setelah itu ia diterima sebagai mahasiswa di Universitas Al-Azhar dengan mengambil jurusan Tafsir dan Hadits, Fakultas Ushuluddin hingga menyelasaikan Lc pada tahun 1967. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya  pada  fakultas dan jurusan yang sama hingga memperoleh gelar master (MA) pada tahun 1969.[3]

Setelah menyelesaikan studinya dengan gelar M.A tersebut, untuk sementara ia kembali ke Ujung Pandang. Dalam kurun waktu kurang lebih sebelas tahun (1969 sampai 1980) ia terjun ke berbagai aktivitas sambil menimba pengalaman empirik, baik dalam bidang kegiatan akademik di IAIN Alauddin maupun di berbagai institusi pemerintah setempat. Dalam masa menimba pengalaman dan karier ini, ia terpilih sebagai pembantu Rektor III IAIN Ujung Pandang. Selain itu, ia juga terlibat dalam pengembangan pendidikan perguruan tinggi swasta wilayah timur Indonesia dan diserahi tugas sebagai koordinator wilayah. Di tengah-tengah kesibukannya itu ia juga aktif melakukan kegiatan ilmiah yang menjadi dasar kesarjanaannya. Beberapa penelitian telah dilakukannya. Di antaranya, ia meneliti tentang “Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Timur Indonesia” (1975), dan “Masalah Wakaf di Sulawesi Selatan” (1978).

Pada tahun 1980, M. Quraish Shihab kembali ke Mesir untuk meneruskan studinya di Program Pascasarjana Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir Hadis, Universitas Al-Azhar. Hanya dalam waktu dua tahun (1982) dia berhasil menyelesaikan disertasinya yang berjudul Nazm al-Durar li al-Biqā’i Tahqiq wa Dir āsah dan berhasil dipertahankan dengan nilai cum laude.

Tahun 1984 adalah babak baru tahap kedua bagi Quraish Shihab untuk melanjutkan kariernya. Untuk itu ia pindah tugas dari IAIN Ujung Pandang ke Fakultas Ushuluddin di IAIN Jakarta. Di sini ia aktif mengajar bidang Tafsir dan Ulum Al-Qur’an di program S1, S2, dan S3 sampai tahun 1998. Di samping melaksanakan tugas pokoknya sebagai dosen, ia juga dipercaya menduduki jabatan sebagai Rektor IAIN Jakarta selama dua periode (1992-1996 dan 1997-1998). Setelah itu ia dipercaya menduduki jabatan sebagai Menteri Agama selama kurang lebih dua bulan di awal tahun 1998.

Kehadiran M. Quraish Shihab di ibukota Jakarta telah memberikan suasana baru dan disambut hangat oleh masyarakat. Hal ini terbukti dengan adanya berbagai aktivitas yang dijalankannya di tengah-tengah masyarakat. Di samping mengajar, ia juga dipercaya untuk menduduki sejumlah jabatan. Di antaranya adalah sebagai ketua  Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat (sejak 1984), anggota lajnah pentashih Al-Qur’an Departemen Agama sejak 1989. Dia juga terlibat dalam beberapa organisasi professional, antara lain asisten ketua umum Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), ketika organisasi ini didirikan. Selanjutnya ia juga tercatat sebagai pengurus perhimpunan ilmu-ilmu syari’ah, dan Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Aktivitas lainnya yang ia lakukan adalah sebagai Dewan Redaksi Studia Islamika: Indonesian Journar for Islamic  Studies, Ulumul Qur’an, Mimbar Ulama, dan Refleksi Jurnal Kajian Agama dan Filsafat. Semua penerbitan ini berada di Jakarta.[4]

Beberapa buku karya M. Quraish Shihab:

1.         Tafsir Al-Mishbah

2.         Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik atas berbagai Persoalan Umat

3.         Membumikan Al-Qur’an

4.         Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan

5.         Lentera Al-Qur’an

6.         Filsafat Hukum Islam

7.         Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama Al-Qur’an

8.         Pengantin Al-Qur’an           

9.         Tafsir Al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya

10.     Logika Agama: Kedudukan Wahyu dan Batas-Batas Akal dalam Islam

B.       Sejarah Penulisan Tafsir Al-Misbah Karya M. Quraish Shihab

Tafsir al-Misbah ini, sebagaimana diakui oleh penulisnya, Quraish Shihab, pertama kali ditulis di Kairo Mesir pada hari Jum’at, 4 Rabiul Awal 1420 H, bertepatan dengan tanggal 18 juni 1999.[5] Dan saat pagi hari di Jakarta, Jum’at 8 Rajab 1432 H bertepatan dengan 5 September 2003, selesai sudah beliau mempersembahkan kepada para pembaca Tafsir Al-Qur’an.[6] Secara lengkap, buku ini diberi nama: Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an yang diterbitkan pertama kali oleh penerbit Lentera Hati bekerjasama dengan Perpustakaan Umum Islam Iman Jama pada bulan Sya’ban 1421 H/November 2000 M.

Tafsir ini ditulis beliau saat sedang menjabat sebagai Duta Besar dan berkuasa penuh di Mesir, Somalia, dan Jibuti. Jabatan sebagai Duta Besar ini ditawarkan oleh bapak Bahruddin Jusuf Habibi ketika masih menjabat sebagai Presiden RI. Meskipun pada awalnya beliau enggan untuk menerima jabatan tersebut, namun akhirnya tugas itu pun diembannya. Pertimbangan lain yang menyebabkan beliau menerima tawaran itu, bisa jadi karena dengan di Mesir, tempat almamaternya Universitas Al-Azhar, beliau dapat mengasingkan diri untuk merealisasikan penulisan tafsir secara utuh dan serius sebagaimana yang diminta oleh teman temannya. Di samping itu, Mesir memiliki iklim ilmiah yang sangat subur.[7]

Bahkan, menurut beliau penulisan tafsir secara utuh dan lengkap harus membutuhkan konsentrasi penuh, dan kalau perlu harus mengasingkan diri seperti di “penjara”. Bahkan, beliau dengan bangga menyatakan dalam penutup tafsir Al-Misbah bahwa ide untuk merealisasikan penulisan tafsir ini secara utuh dan serius ini juga di motivasi oleh masukan dari beberapa teman temannya, baik yang dikenal maupun yang tidak dikenalnya.

Awalnya beliau akan menulis tafsir ini secara sederhana dan tidak berbelit belit, yaitu tidak lebih dari 3 volume. Namun, ketika beliau memulai menulis membuatnya mendapat kepuasan rohani dan tak terasa mencapai 15 volume. Dengan jumlah yang spektakuler ini tak heran mengapa beliau merasa dalam “pengasingan”. Karena banyaknya volume tak jarang keluarganya ikut membantu mengetik beberapa artikel dan merapikannya, hal ini juga beliau utarakan dalam sekapur sirih beliau di Tafsir Al-Misbah tersebut.

C.      Sistematika, Corak Penulisan, dan Contoh Tafsir Al-Misbah Karya M. Quraish Shihab.

Hingga saat ini, ketika kita berbicara tentang metodologi tafsir Al-Qur’an, banyak yang merujuk pada pemetaan yang dibuat oleh Abd Al-Hayy Al-Farmawy seperti yang termuat dalam bukunya Al-Bidayah fi Tafsir Al-Maudhu’i. Dalam bukunya itu, Al-Farmawi memetakan metode tafsir menjadi empat macam, yaitu metode tahlili, metode ijmali, metode muqarin, dan metode maudhu’i.[8]

Dalam tafsir Al-Misbah ini, metode yang digunakan Quraish Shihab adalah metode tahlili (analitik), yaitu sebuah bentuk  karya tafsir yang berusaha untuk mengungkap kandungan Al-Qur’an, dari berbagai aspeknya, disusun berdasarkan urutan ayat di dalam Al-Qur’an, selanjutnya memberikan penjelasan-penjelasan tentang kosakata, makna global ayat, korelasi, asbabun nuzul, dan hal-hal lain yang dianggap bisa membantu untuk memahami Al-Qur’an.[9]

Pemilihan metode tahlili yang digunakan dalam tafsir Al-Misbah ini didasarkan pada kesadaran Quraish Shihab bahwa metode maudhu’i yang sering digunakan pada karyanya berjudul “Membumikan Al-Qur’an” dan “Wawasan Al-Qur’an”. Sebelum menulis tafsir Al-Misbah, Quraish Shihab sudah menghasilkan karya dengan metode tahlili, yakni ketika ia menulis tafsir Al-Qur’an Al-Karim.

Sedangkan dari segi corak, tafsir Al-Misbah ini lebih cenderung kepada corak sastra budaya dan kemasyarakatan (al-adabi al-ijtima’i), yaitu corak yang berusaha memahami nash-nash Al-Qur’an dengan cara pertama dan utama mengemukakan ungkapan-ungkapan Al-Qur’an secara teliti, selanjutnya menjelaskan makna-makna yang dimaksud oleh Al-Qur’an tersebut dengan bahasa yang indah dan menarik, kemudian seorang mufasir berusaha menghubungkan nash-nash Al-Qur’an yang dikaji dengan kenyataan sosial dan sistem budaya yang ada. Corak tafsir ini merupakan corak baru yang menarik pembaca dan menumbuhkan kecintaan kepada Al-Qur’an serta memotivasi untuk menggali makna-makna dan rahasia Al-Qur’an. Menurut Muhammad Husai al-Dhahabi, bahwa corak penafsiran ini terlepas dari kekurangannya berusaha mengemukakan keindahan bahasa (balaghah) dan kemukjizatan Al-Qur’an, menjelaskan makna-makna dan saran-saran yang dituju oleh Al-Qur’an, mengungkapkan hukum-hukum alam yang agung dan tatanan kemasyarakatan yang dikandungnya membantu memecahkan segala problema yang dihadapi umat melalui petunjuk dan ajaran Al-Qur’an untuk mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat serta berusaha menemukan antara Al-Qur’an dengan teori-teori ilmiah.

Setidaknya ada tiga karakter yang harus dimiliki oleh sebuah karya tafsir bercorak sastra budaya dan kemasyarakatan. Pertama, menjelaskan petunjuk ayat Al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat dan menjelaskan bahwa Al-Qur’an itu kitab suci yang kekal sepanjang zaman. Kedua, penjelasan-penjelasan lebih tertuju pada penanggulangan penyakit dan masalah-masalah yang sedang terjadi dalam masyarakat. Ketiga, disajikan dengan bahasa yang mudah dipahami dan indah didengar.

Tafsir Al-Misbah karya Quraish Shihab ini nampaknya memenuhi ketiga persyaratan tersebut, sehubungan dengan karakter yang disebut pertama, yaitu tafsir ini selalu menghadirkan petunjuk dengan menghubungkan kehidupan masyarakat dan menjelaskan bahwa Al-Qur’an ini kitab suci yang kekal sepanjang zaman,[10] seperti ketika menafsirkan surat Al-Mu’minun (23) ayat 5-7 Allah berfirman:

tûïÏ%©!$#ur öNèd öNÎgÅ_rãàÿÏ9 tbqÝàÏÿ»ym ÇÎÈ   žwÎ) #n?tã öNÎgÅ_ºurør& ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNåkß]»yJ÷ƒr& öNåk¨XÎ*sù çŽöxî šúüÏBqè=tB ÇÏÈ   Ç`yJsù 4ÓxötGö/$# uä!#uur y7Ï9ºsŒ y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbrߊ$yèø9$# ÇÐÈ  

 “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas”.



Ketika menafsirkan ayat di atas, Quraish Shihab dalam tafsirnya menulis sebagai berikut :

Dari kutipan yang panjang di atas, jelas sekali bahwa Quraish Shihab tidak menginginkan adanya anggapan bahwa kitab suci Al-Qur’an menjadi petunjuk hanya sewaktu saja. Di sini Quraish Shihab membedakan antara budak dengan pembantu rumah tangga yang dipekerjakan di dalam atau di luar negeri. Quraish Shihab menjelaskan walaupun sekarang sudah tidak ada budak bukan berarti ayat ini sudah tidak relatif lagi. Di sini terlihat bahwa corak tafsir Al-Misbah karya Quraish Shihab memang bercorak adabi ijtima’I, yaitu corak tafsir yang lebih mengedepankan sastra budaya dan kemasyarakatan.[11]

Tafsir Al-Misbah Selain bercorak sastra budaya dan kemasyarakatan (al-adabi al-ijtima’i), tafsir ini juga bercorak lughowi yang bercampur dengan pembahasan lain, seperti hukum, theology, dan sejenisnya. Jenis corak lughowi pada tafsir Al-Misbah berupa tafsir shorof atau morfologi (semiotic dan sematik) yaitu tafsir lughawi yang fokus membahas aspek makna kata, isytiqaq dan korelasi antar kata. Contohnya pada Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 13:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa, bersuku-suku, supaya kalian saling mengenal. Sesunggunya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.



Kata شُعُوب syu’ub adalah bentuk jamak dari kata شعب sya’b kata ini digunakan untuk menunjukkan kumpulan dari sekian qobilah yang biasa diterjemahkan suku yang merujuk kepada satu kakek. Qobilah/suku pun terdiri dari sekian banyak kelompok keluarga yang dinamai ‘imaroh , dan yang ini terdiri lagi dari sekian banyak kelompok yang dinamai bathn. Dibawah bathn ada sekian fakhdz hingga akhirnya sampai himpunan keluarga terkecil. Terlihat dari penggunaan kata sya’b  bahwa ia bukan menunjuk  kepada pengertian bangsa sebagaimana dipahami dewasa ini.

Kata (تَعَارَفُوا) ta’arofu diambil dari kata ‘arofa yang berarti mengenal. Patron kata yang digunakan ayat ini mengandung makna timbal balik, dengan demikian dia berarti saling mengenal.

Kata (أَكْرَمَكُمْ) terambil dari kata karuma yang pada dasarnya berarti yang baik dan istimewa sesuai objeknya. Manusia yang baik dan istimewa adalah yang memiliki akhlak yang baik kepada Allah dan sesame makhluk.

Sifat عَلِيمٌ خَبِيرٌ mengandung makna kemahatahuan Allah. Sementara ulama membedakan keduanya dengan menyatakan bahwa ‘Alim menggambarkan pengetahuan-Nya menyangkut segala sesuatu. Penekananya adalah pada dzat Allah yang bersifat Maha Mengetahui bukan pada sesuatu yang diketahui itu. Sedangkan Kabir menggambarkan pengetahuan-Nya yang menjangkau sesuatu. Disini, sisi penekananya bukan pada dzat-Nya Yang Maha Mengetahui tetapi pada sesuatu yang diketahui itu.

Penutupan ayat di atas (إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ) Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal yakni menggabung dua sifat Allah bermakna mirip itu, hanya ditemukan tiga kali dalam Al-Qur’an. Konteks ketiganya adalah pada hal-hal yang mustahil, atau amat sulitnya diketahui manusia.[12]

D.      Sumber Rujukan Penulisan Tafsir Al-Misbah Karya M. Quraish Shihab

Meskipun Quraish Shihab telah mampu merampungkan karya tafsir yang sangat monumental terdiri dari 15 volume, tidak lantas beliau kemudian berbesar hati dan melupakan jasa-jasa para pendahulunya. Artinya, sebagai seorang ilmuwan dan ulama, beliau tetap rendah hati dan bersikap tawadhu’ serta tidak bersikap arogan dengan mengatakan bahwa apa yang ditulisnya sebagai ijtihad pribadinya. Tetapi beliau tetap hormat terhadap para mufassir yang telah dulu menafsirkan Al-Qur’an. Bahkan, karya karya mereka banyak beliau kutip sebagai bahan penafsirannya. Rasa tawadhu’nya ini beliau ekspresikan sebagai berikut :

“Bahwa apa yang dihidangkan di sini bukan sepenuhnya ijtihad penulis. Hasil karya ulama-ulama terdahulu dan kontemporer, serta pandangan pandangan mereka sungguh banyak penulis nukil, khususnya pandangan pakar tafsir Ibrahim Ibn ‘Umar al Biqa’i (w. 885 H-1480 M) yang karya tafsirnya ketika masih berbentuk manuskrip menjadi bahan disertasi penulis di Universitas Al-Azhar, Kairo, dua puluh tahun yang lalu. Demikian juga karya tafsir pemimpin tertinggi Al-Azhar dewasa ini, Sayyid Muhammad Thanthawi, juga Syeikh Mutawalli Asy-Sya’rawi, dan tidak ketinggalan Sayyid Qutub, Muhammad Thahir Ibn ‘Asyur, Sayyid Muhammad Husein Thaba’thaba’i, serta pakar tafsir lain”[13].




BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan

M. Quraish Shihab lahir tanggal 16 Februari 1944 di Rapang, Ujung Pandang, Sulawesi Selatan. Ayahnya bernama Abdurrahman Shihab adalah keluarga keturunan arab yang terpelajar dan menjadi ulama sekaligus guru besar di IAIN Alauddin Ujung Pandang. Sebagai seseorang yang berfikiran maju, Abdurrahman percaya bahwa pendidikan merupakan agen perubahan. Sejak kecil M. Quraish Shihab telah menjalani pergumulan dan kecintaan terhadap Al-Qur’an. Pada umur 6-7 tahun, ia harus mengikuti pengajian Al-Qur’an  yang  diadakan  ayahnya  sendiri. Pada  waktu  itu, selain menyuruh membaca Al-Qur’an, ayahnya juga menguraikan secara sepintas  tentang kisah-kisah dalam Al-Qur’an. Di sinilah mulai tumbuh  benih-benih kecintaan Quraish Shihab kepada Al-Qur’an.

Tafsir al-Misbah ini, sebagaimana diakui oleh penulisnya, Quraish Shihab, pertama kali ditulis di Kairo Mesir pada hari Jum’at, 4 Rabiul Awal 1420 H, bertepatan dengan tanggal 18 juni 1999. Dan saat pagi hari di Jakarta, Jum’at 8 Rajab 1432 H bertepatan dengan 5 September 2003, selesai sudah beliau mempersembahkan kepada para pembaca Tafsir Al-Qur’an. Secara lengkap, buku ini diberi nama: Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an yang diterbitkan pertama kali oleh penerbit Lentera Hati bekerjasama dengan Perpustakaan Umum Islam Iman Jama pada bulan Sya’ban 1421 H/November 2000 M.

Dalam tafsir Al-Misbah ini, metode yang digunakan Quraish Shihab adalah metode tahlili (analitik), yaitu sebuah bentuk  karya tafsir yang berusaha untuk mengungkap kandungan Al-Qur’an, dari berbagai aspeknya, disusun berdasarkan urutan ayat di dalam Al-Qur’an, selanjutnya memberikan penjelasan-penjelasan tentang kosakata, makna global ayat, korelasi, asbabun nuzul, dan hal-hal lain yang dianggap bisa membantu untuk memahami Al-Qur’an.

Meskipun Quraish Shihab telah mampu merampungkan karya tafsir yang sangat monumental terdiri dari 15 volume, tidak lantas beliau kemudian berbesar hati dan melupakan jasa-jasa para pendahulunya. Artinya, sebagai seorang ilmuwan dan ulama, beliau tetap rendah hati dan bersikap tawadhu’ serta tidak bersikap arogan dengan mengatakan bahwa apa yang ditulisnya sebagai ijtihad pribadinya. Tetapi beliau tetap hormat terhadap para mufassir yang telah dulu menafsirkan Al-Qur’an. Bahkan, karya karya mereka banyak beliau kutip sebagai bahan penafsirannya.



































DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata. Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2005.

Badiatul Raziqin, dkk. 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia. Yogyakarta: E-Nusantara. 2009.

Mohammad Nor Ichwan. Prof. M. Quraish Shihab Membincang Persoalan Gender. Semarang: Rasail. 2013.

M. Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan. 1994.

M. Quraish Shihab. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati. 2003.







[1] Badiatul  Raziqin,  dkk,  101  Jejak  Tokoh  Islam  Indonesia, Yogyakarta: E-Nusantara, 2009, hlm. 269.
[2] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1994, hlm. 6.
[3] Raziqin,  dkk,  101  Jejak  Tokoh  Islam  Indonesia…,  hlm. 269-270.
[4] Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005, hlm. 363-364.
[5] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 15, Jakarta: Lentera Hati, 2003, hlm. 645.
[6] Ibid…, hlm. 789.
[7] Mohammad Nor Ichwan, Prof. M. Quraish Shihab Membincang Persoalan Gender, Semarang: Rasail, 2013, hlm. 36-37.
[8] Ibid…, hlm. 51.
[9] Ibid…, hlm. 58.
[10] Ibid…, hlm. 59-61.
[11] Ibid…, hlm. 63.  
[12] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 15, Jakarta: Lentera Hati, 2003, hlm: 260-262
[13] Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 1…, hlm. 18  

0 komentar:

Posting Komentar