BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perkembangan
penafsiran Al-Qur’an di Indonesia agak berbeda dengan perkembangan yang terjadi
di dunia Arab yang merupakan tempat turunnya al Qur’an dan sekaligus tempat
kelahiran tafsir Al-Qur’an. Perbedaan tersebut terutama disebabkan oleh
perbedaan latar belakang budaya dan bahasa. Karena bahasa Arab adalah bahasa
mereka, maka mereka tidak mengalami kesulitan berarti untuk memahami bahasa
Al-Qur’an sehingga proses penafsiran juga lumayan cepat dan pesat. Hal ini
berbeda dengan bangsa Indonesia yang bahasa ibunya bukan bahasa Arab. Karena
itu proses pemahaman Al-Qur’an terlebih dahulu dimulai dengan penerjemahan
Al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia baru kemudian dilanjutkan dengan pemberian
penafsiran yang lebih luas dan rinci. Oleh karena itu pula, maka dapat dipahami
jika penafsiran Al-Qur’an di Indonesia melalui proses yang lebih lama jika
dibandingkan dengan yang berlaku di tempat asalnya.
Perjalanan
perkembangan ilmu tafsir dan karya-karya tafsir perlu diperhatikan dan diikuti
jejaknya. Meskipun lahirnya bidang ini jauh sebelum para tabi’in dan ulama
kontemporer merumuskan dan mengembangkannya, namun minat untuk mengkaji dan
merevolusi tidak pernah habis seiring berjalannya zaman. Karya-karya tafsir
ulama era at-Thabari, Ibn Katsir, Zamakhsyari dan lainnya tersebut
menginspirasi para mufasir baru sebagai penerus untuk mengembangkan model dalam
bentuk karya penafsiran, karena menjadi sebuah tuntutan bahwa Al-Qur’an
merupakan sumber jawaban atas segala permasalahan dimanapun dan kapanpun.
Indonesia
merupakan salah satu bagian terpenting dalam sejarah perkembangan Islam, tidak
lepas dari sentuhan tafsir. Sehingga lahirlah berbagai karya tafsir dalam kurun
waktu yang berbeda dengan corak, metode, dan subtansinya juga berbeda. Seiring
dengan latarbelakang tokoh atau penciptanya serta diwarnai dengan alasan
dibuatnya karya tersebut yang beragam pula.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
biografi M. Quraish Shihab dan karya-karyanya?
2.
Bagaimana sejarah penulisan Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish
Shihab?
3.
Bagaimana sistematika, corak penulisan, dan contoh Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish
Shihab?
4.
Darimana saja sumber rujukan penulisan Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi M.
Quraish Shihab
M. Quraish
Shihab lahir tanggal 16 Februari 1944 di Rapang, Ujung Pandang, Sulawesi
Selatan. Ayahnya bernama Abdurrahman Shihab adalah keluarga keturunan arab yang
terpelajar dan menjadi ulama sekaligus guru besar di IAIN Alauddin Ujung
Pandang. Sebagai seseorang yang berfikiran maju, Abdurrahman percaya bahwa
pendidikan merupakan agen perubahan. Sejak kecil M. Quraish Shihab telah
menjalani pergumulan dan kecintaan terhadap Al-Qur’an. Pada umur 6-7 tahun, ia
harus mengikuti pengajian Al-Qur’an
yang diadakan ayahnya
sendiri. Pada waktu itu, selain menyuruh membaca Al-Qur’an,
ayahnya juga menguraikan secara sepintas
tentang kisah-kisah dalam Al-Qur’an. Di sinilah mulai tumbuh benih-benih kecintaan Quraish Shihab kepada
Al-Qur’an.[1]
M. Quraih
Shihab menyelesaikan sekolah dasarnya di kota Ujung Pandang. Kemudian ia melanjutkan sekolah menengahnya
di kota Malang sambil belajar agama di pesantren Dar al-Hadis al-Fiqhiyah.[2] Pada tahun
1958, ketika berusia 14 tahun, ia berangkat ke Kairo, Mesir untuk melanjutkan
studi, dan diterima di kelas II
Tsanawiyah Al-Azhar. Setelah itu ia diterima sebagai mahasiswa di
Universitas Al-Azhar dengan mengambil jurusan Tafsir dan Hadits, Fakultas
Ushuluddin hingga menyelasaikan Lc pada tahun 1967. Kemudian ia melanjutkan
pendidikannya pada fakultas dan jurusan yang sama hingga memperoleh
gelar master (MA) pada tahun 1969.[3]
Setelah
menyelesaikan studinya dengan gelar M.A tersebut, untuk sementara ia kembali ke
Ujung Pandang. Dalam kurun waktu kurang lebih sebelas tahun (1969 sampai 1980)
ia terjun ke berbagai aktivitas sambil menimba pengalaman empirik, baik dalam
bidang kegiatan akademik di IAIN Alauddin maupun di berbagai institusi
pemerintah setempat. Dalam masa menimba pengalaman dan karier ini, ia terpilih sebagai
pembantu Rektor III IAIN Ujung Pandang. Selain itu, ia juga terlibat dalam
pengembangan pendidikan perguruan tinggi swasta wilayah timur Indonesia dan
diserahi tugas sebagai koordinator wilayah. Di tengah-tengah kesibukannya itu
ia juga aktif melakukan kegiatan ilmiah yang menjadi dasar kesarjanaannya.
Beberapa penelitian telah dilakukannya. Di antaranya, ia meneliti tentang
“Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Timur Indonesia” (1975), dan “Masalah
Wakaf di Sulawesi Selatan” (1978).
Pada tahun 1980,
M. Quraish Shihab kembali ke Mesir untuk meneruskan studinya di Program
Pascasarjana Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir Hadis, Universitas Al-Azhar.
Hanya dalam waktu dua tahun (1982) dia berhasil menyelesaikan disertasinya yang
berjudul Nazm al-Durar li al-Biqā’i Tahqiq wa Dir āsah dan berhasil
dipertahankan dengan nilai cum laude.
Tahun 1984
adalah babak baru tahap kedua bagi Quraish Shihab untuk melanjutkan kariernya.
Untuk itu ia pindah tugas dari IAIN Ujung Pandang ke Fakultas Ushuluddin di
IAIN Jakarta. Di sini ia aktif mengajar bidang Tafsir dan Ulum Al-Qur’an di
program S1, S2, dan S3 sampai tahun 1998. Di samping melaksanakan tugas
pokoknya sebagai dosen, ia juga dipercaya menduduki jabatan sebagai Rektor IAIN
Jakarta selama dua periode (1992-1996 dan 1997-1998). Setelah itu ia dipercaya
menduduki jabatan sebagai Menteri Agama selama kurang lebih dua bulan di awal
tahun 1998.
Kehadiran M.
Quraish Shihab di ibukota Jakarta telah memberikan suasana baru dan disambut
hangat oleh masyarakat. Hal ini terbukti dengan adanya berbagai aktivitas yang
dijalankannya di tengah-tengah masyarakat. Di samping mengajar, ia juga
dipercaya untuk menduduki sejumlah jabatan. Di antaranya adalah sebagai
ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI)
pusat (sejak 1984), anggota lajnah pentashih Al-Qur’an Departemen Agama sejak
1989. Dia juga terlibat dalam beberapa organisasi professional, antara lain
asisten ketua umum Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), ketika
organisasi ini didirikan. Selanjutnya ia juga tercatat sebagai pengurus
perhimpunan ilmu-ilmu syari’ah, dan Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Aktivitas lainnya yang ia lakukan adalah
sebagai Dewan Redaksi Studia Islamika: Indonesian Journar for Islamic Studies, Ulumul Qur’an, Mimbar Ulama, dan
Refleksi Jurnal Kajian Agama dan Filsafat. Semua penerbitan ini berada di
Jakarta.[4]
Beberapa buku
karya M. Quraish Shihab:
1.
Tafsir
Al-Mishbah
2.
Wawasan
Al-Qur’an: Tafsir Tematik atas berbagai Persoalan Umat
3.
Membumikan
Al-Qur’an
4.
Lentera Hati:
Kisah dan Hikmah Kehidupan
5.
Lentera
Al-Qur’an
6.
Filsafat Hukum
Islam
7.
Secercah Cahaya
Ilahi: Hidup Bersama Al-Qur’an
8.
Pengantin
Al-Qur’an
9.
Tafsir
Al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya
10.
Logika Agama:
Kedudukan Wahyu dan Batas-Batas Akal dalam Islam
B.
Sejarah Penulisan Tafsir Al-Misbah Karya M.
Quraish
Shihab
Tafsir
al-Misbah ini, sebagaimana diakui oleh penulisnya, Quraish Shihab, pertama kali
ditulis di Kairo Mesir pada hari Jum’at, 4 Rabiul Awal 1420 H, bertepatan
dengan tanggal 18 juni 1999.[5]
Dan saat pagi hari di Jakarta, Jum’at 8 Rajab 1432 H bertepatan dengan 5
September 2003, selesai sudah beliau mempersembahkan kepada para pembaca Tafsir
Al-Qur’an.[6] Secara lengkap, buku
ini diberi nama: Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an
yang diterbitkan pertama kali oleh penerbit Lentera Hati bekerjasama dengan
Perpustakaan Umum Islam Iman Jama pada bulan Sya’ban 1421 H/November
2000 M.
Tafsir
ini ditulis beliau saat sedang menjabat sebagai Duta Besar dan berkuasa penuh
di Mesir, Somalia, dan Jibuti. Jabatan sebagai Duta Besar ini ditawarkan oleh
bapak Bahruddin Jusuf Habibi ketika masih menjabat sebagai Presiden RI.
Meskipun pada awalnya beliau enggan untuk menerima jabatan tersebut, namun
akhirnya tugas itu pun diembannya. Pertimbangan lain yang menyebabkan beliau
menerima tawaran itu, bisa jadi karena dengan di Mesir, tempat almamaternya
Universitas Al-Azhar, beliau dapat mengasingkan diri untuk merealisasikan
penulisan tafsir secara utuh dan serius sebagaimana yang diminta oleh teman
temannya. Di samping itu, Mesir memiliki iklim ilmiah yang sangat subur.[7]
Bahkan,
menurut beliau penulisan tafsir secara utuh dan lengkap harus membutuhkan
konsentrasi penuh, dan kalau perlu harus mengasingkan diri seperti di
“penjara”. Bahkan, beliau dengan bangga menyatakan dalam penutup tafsir Al-Misbah
bahwa ide untuk merealisasikan penulisan tafsir ini secara utuh dan serius ini
juga di motivasi oleh masukan dari beberapa teman temannya, baik yang dikenal
maupun yang tidak dikenalnya.
Awalnya
beliau akan menulis tafsir ini secara sederhana dan tidak berbelit belit, yaitu
tidak lebih dari 3 volume. Namun, ketika beliau memulai menulis membuatnya
mendapat kepuasan rohani dan tak terasa mencapai 15 volume. Dengan jumlah yang
spektakuler ini tak heran mengapa beliau merasa dalam “pengasingan”. Karena
banyaknya volume tak jarang keluarganya ikut membantu mengetik beberapa artikel
dan merapikannya, hal ini juga beliau utarakan dalam sekapur sirih beliau di
Tafsir Al-Misbah tersebut.
C. Sistematika,
Corak Penulisan, dan Contoh Tafsir Al-Misbah Karya M.
Quraish
Shihab.
Hingga
saat ini, ketika kita berbicara tentang metodologi tafsir Al-Qur’an, banyak
yang merujuk pada pemetaan yang dibuat oleh Abd Al-Hayy Al-Farmawy seperti yang
termuat dalam bukunya Al-Bidayah fi Tafsir Al-Maudhu’i. Dalam bukunya itu, Al-Farmawi
memetakan metode tafsir menjadi empat macam, yaitu metode tahlili,
metode ijmali, metode muqarin, dan metode maudhu’i.[8]
Dalam
tafsir Al-Misbah ini, metode yang digunakan Quraish Shihab adalah metode tahlili
(analitik), yaitu sebuah bentuk karya
tafsir yang berusaha untuk mengungkap kandungan Al-Qur’an, dari berbagai
aspeknya, disusun berdasarkan urutan ayat di dalam Al-Qur’an, selanjutnya
memberikan penjelasan-penjelasan tentang kosakata, makna global ayat, korelasi,
asbabun nuzul, dan hal-hal lain yang dianggap bisa membantu untuk memahami
Al-Qur’an.[9]
Pemilihan
metode tahlili yang digunakan dalam tafsir Al-Misbah ini didasarkan pada
kesadaran Quraish Shihab bahwa metode maudhu’i yang sering digunakan pada
karyanya berjudul “Membumikan Al-Qur’an” dan “Wawasan Al-Qur’an”. Sebelum
menulis tafsir Al-Misbah, Quraish Shihab sudah menghasilkan karya dengan metode
tahlili, yakni ketika ia menulis tafsir Al-Qur’an Al-Karim.
Sedangkan
dari segi corak, tafsir Al-Misbah ini lebih cenderung kepada corak sastra
budaya dan kemasyarakatan (al-adabi al-ijtima’i), yaitu corak yang berusaha
memahami nash-nash Al-Qur’an dengan cara pertama dan utama mengemukakan
ungkapan-ungkapan Al-Qur’an secara teliti, selanjutnya menjelaskan makna-makna
yang dimaksud oleh Al-Qur’an tersebut dengan bahasa yang indah dan menarik,
kemudian seorang mufasir berusaha menghubungkan nash-nash Al-Qur’an yang dikaji
dengan kenyataan sosial dan sistem budaya yang ada. Corak tafsir ini merupakan
corak baru yang menarik pembaca dan menumbuhkan kecintaan kepada Al-Qur’an
serta memotivasi untuk menggali makna-makna dan rahasia Al-Qur’an. Menurut
Muhammad Husai al-Dhahabi, bahwa corak penafsiran ini terlepas dari
kekurangannya berusaha mengemukakan keindahan bahasa (balaghah) dan
kemukjizatan Al-Qur’an, menjelaskan makna-makna dan saran-saran yang dituju
oleh Al-Qur’an, mengungkapkan hukum-hukum alam yang agung dan tatanan
kemasyarakatan yang dikandungnya membantu memecahkan segala problema yang
dihadapi umat melalui petunjuk dan ajaran Al-Qur’an untuk mendapatkan
keselamatan dunia dan akhirat serta berusaha menemukan antara Al-Qur’an dengan
teori-teori ilmiah.
Setidaknya
ada tiga karakter yang harus dimiliki oleh sebuah karya tafsir bercorak sastra
budaya dan kemasyarakatan. Pertama, menjelaskan petunjuk ayat Al-Qur’an yang
berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat dan menjelaskan bahwa Al-Qur’an
itu kitab suci yang kekal sepanjang zaman. Kedua, penjelasan-penjelasan lebih
tertuju pada penanggulangan penyakit dan masalah-masalah yang sedang terjadi
dalam masyarakat. Ketiga, disajikan dengan bahasa yang mudah dipahami dan indah
didengar.
Tafsir
Al-Misbah karya Quraish Shihab ini nampaknya memenuhi ketiga persyaratan
tersebut, sehubungan dengan karakter yang disebut pertama, yaitu tafsir ini
selalu menghadirkan petunjuk dengan menghubungkan kehidupan masyarakat dan
menjelaskan bahwa Al-Qur’an ini kitab suci yang kekal sepanjang zaman,[10]
seperti ketika menafsirkan surat Al-Mu’minun (23) ayat 5-7 Allah berfirman:
tûïÏ%©!$#ur öNèd öNÎgÅ_rãàÿÏ9 tbqÝàÏÿ»ym ÇÎÈ wÎ) #n?tã öNÎgÅ_ºurør& ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNåkß]»yJ÷r& öNåk¨XÎ*sù çöxî úüÏBqè=tB ÇÏÈ Ç`yJsù 4ÓxötGö/$# uä!#uur y7Ï9ºs y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbrß$yèø9$# ÇÐÈ
“Dan orang-orang yang menjaga
kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka
miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka
itulah orang-orang yang melampaui batas”.
Ketika menafsirkan ayat di atas, Quraish Shihab dalam tafsirnya menulis
sebagai berikut :
Dari kutipan yang panjang di atas, jelas sekali bahwa Quraish Shihab
tidak menginginkan adanya anggapan bahwa kitab suci Al-Qur’an menjadi petunjuk
hanya sewaktu saja. Di sini Quraish Shihab membedakan antara budak dengan
pembantu rumah tangga yang dipekerjakan di dalam atau di luar negeri. Quraish
Shihab menjelaskan walaupun sekarang sudah tidak ada budak bukan berarti ayat
ini sudah tidak relatif lagi. Di sini terlihat bahwa corak tafsir Al-Misbah
karya Quraish Shihab memang bercorak adabi ijtima’I, yaitu corak tafsir yang
lebih mengedepankan sastra budaya dan kemasyarakatan.[11]
Tafsir Al-Misbah Selain bercorak sastra budaya dan kemasyarakatan
(al-adabi al-ijtima’i), tafsir ini juga bercorak lughowi yang bercampur dengan
pembahasan lain, seperti hukum, theology, dan sejenisnya. Jenis corak lughowi
pada tafsir Al-Misbah berupa tafsir shorof atau morfologi (semiotic dan
sematik) yaitu tafsir lughawi yang fokus membahas aspek makna kata, isytiqaq
dan korelasi antar kata. Contohnya pada Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 13:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا
خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ
لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ
عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia,
sesungguhnya kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa, bersuku-suku, supaya kalian
saling mengenal. Sesunggunya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi
Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Kata شُعُوب syu’ub adalah bentuk jamak dari kata شعب sya’b kata ini digunakan untuk menunjukkan
kumpulan dari sekian qobilah yang biasa diterjemahkan suku yang merujuk kepada
satu kakek. Qobilah/suku pun terdiri dari sekian banyak kelompok keluarga yang
dinamai ‘imaroh , dan yang ini terdiri lagi dari sekian banyak kelompok yang
dinamai bathn. Dibawah
bathn ada sekian fakhdz hingga akhirnya sampai himpunan keluarga terkecil.
Terlihat dari penggunaan kata sya’b bahwa
ia bukan menunjuk kepada pengertian bangsa
sebagaimana dipahami dewasa ini.
Kata (تَعَارَفُوا) ta’arofu
diambil dari kata ‘arofa yang berarti mengenal. Patron kata yang digunakan ayat
ini mengandung makna timbal balik, dengan demikian dia berarti saling mengenal.
Kata (أَكْرَمَكُمْ) terambil
dari kata karuma yang pada dasarnya berarti yang baik dan istimewa sesuai
objeknya. Manusia yang baik dan istimewa adalah yang memiliki akhlak yang baik
kepada Allah dan sesame makhluk.
Sifat عَلِيمٌ خَبِيرٌ mengandung
makna kemahatahuan Allah. Sementara ulama membedakan keduanya dengan menyatakan
bahwa ‘Alim menggambarkan pengetahuan-Nya menyangkut segala sesuatu.
Penekananya adalah pada dzat Allah yang bersifat Maha Mengetahui bukan pada
sesuatu yang diketahui itu. Sedangkan Kabir menggambarkan pengetahuan-Nya yang
menjangkau sesuatu. Disini, sisi penekananya bukan pada dzat-Nya Yang Maha
Mengetahui tetapi pada sesuatu yang diketahui itu.
Penutupan ayat di atas (إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ) Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal yakni menggabung dua sifat Allah bermakna mirip itu, hanya ditemukan
tiga kali dalam Al-Qur’an. Konteks ketiganya adalah pada hal-hal yang mustahil,
atau amat sulitnya diketahui manusia.[12]
D. Sumber
Rujukan Penulisan Tafsir Al-Misbah Karya M.
Quraish
Shihab
Meskipun Quraish Shihab telah mampu merampungkan karya tafsir yang
sangat monumental terdiri dari 15 volume, tidak lantas beliau kemudian berbesar
hati dan melupakan jasa-jasa para pendahulunya. Artinya, sebagai seorang
ilmuwan dan ulama, beliau tetap rendah hati dan bersikap tawadhu’ serta tidak
bersikap arogan dengan mengatakan bahwa apa yang ditulisnya sebagai ijtihad
pribadinya. Tetapi beliau tetap hormat terhadap para mufassir yang telah dulu
menafsirkan Al-Qur’an. Bahkan, karya karya mereka banyak beliau kutip sebagai
bahan penafsirannya. Rasa tawadhu’nya ini beliau ekspresikan sebagai berikut :
“Bahwa apa yang dihidangkan di sini bukan sepenuhnya ijtihad penulis.
Hasil karya ulama-ulama terdahulu dan kontemporer, serta pandangan pandangan
mereka sungguh banyak penulis nukil, khususnya pandangan pakar tafsir Ibrahim
Ibn ‘Umar al Biqa’i (w. 885 H-1480 M) yang karya tafsirnya ketika masih
berbentuk manuskrip menjadi bahan disertasi penulis di Universitas Al-Azhar,
Kairo, dua puluh tahun yang lalu. Demikian juga karya tafsir pemimpin tertinggi
Al-Azhar dewasa ini, Sayyid Muhammad Thanthawi, juga Syeikh Mutawalli
Asy-Sya’rawi, dan tidak ketinggalan Sayyid Qutub, Muhammad Thahir Ibn ‘Asyur,
Sayyid Muhammad Husein Thaba’thaba’i, serta pakar tafsir lain”[13].
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
M. Quraish Shihab lahir tanggal 16 Februari
1944 di Rapang, Ujung Pandang, Sulawesi Selatan. Ayahnya bernama Abdurrahman Shihab
adalah keluarga keturunan arab yang terpelajar dan menjadi ulama sekaligus guru
besar di IAIN Alauddin Ujung Pandang. Sebagai seseorang yang berfikiran maju,
Abdurrahman percaya bahwa pendidikan merupakan agen perubahan. Sejak kecil M.
Quraish Shihab telah menjalani pergumulan dan kecintaan terhadap Al-Qur’an.
Pada umur 6-7 tahun, ia harus mengikuti pengajian Al-Qur’an yang
diadakan ayahnya sendiri. Pada
waktu itu, selain menyuruh
membaca Al-Qur’an, ayahnya juga menguraikan secara sepintas tentang kisah-kisah dalam Al-Qur’an. Di
sinilah mulai tumbuh benih-benih
kecintaan Quraish Shihab kepada Al-Qur’an.
Tafsir al-Misbah ini, sebagaimana diakui oleh
penulisnya, Quraish Shihab, pertama kali ditulis di Kairo Mesir pada hari
Jum’at, 4 Rabiul Awal 1420 H, bertepatan dengan tanggal 18 juni 1999. Dan saat
pagi hari di Jakarta, Jum’at 8 Rajab 1432 H bertepatan dengan 5 September 2003,
selesai sudah beliau mempersembahkan kepada para pembaca Tafsir Al-Qur’an.
Secara lengkap, buku ini diberi nama: Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan
Keserasian Al-Qur’an yang diterbitkan pertama kali oleh penerbit Lentera Hati
bekerjasama dengan Perpustakaan Umum Islam Iman Jama pada bulan Sya’ban 1421
H/November 2000 M.
Dalam tafsir Al-Misbah ini, metode yang
digunakan Quraish Shihab adalah metode tahlili (analitik), yaitu sebuah
bentuk karya tafsir yang berusaha untuk
mengungkap kandungan Al-Qur’an, dari berbagai aspeknya, disusun berdasarkan
urutan ayat di dalam Al-Qur’an, selanjutnya memberikan penjelasan-penjelasan
tentang kosakata, makna global ayat, korelasi, asbabun nuzul, dan hal-hal lain
yang dianggap bisa membantu untuk memahami Al-Qur’an.
Meskipun Quraish Shihab telah mampu
merampungkan karya tafsir yang sangat monumental terdiri dari 15 volume, tidak
lantas beliau kemudian berbesar hati dan melupakan jasa-jasa para pendahulunya.
Artinya, sebagai seorang ilmuwan dan ulama, beliau tetap rendah hati dan
bersikap tawadhu’ serta tidak bersikap arogan dengan mengatakan bahwa apa yang
ditulisnya sebagai ijtihad pribadinya. Tetapi beliau tetap hormat terhadap para
mufassir yang telah dulu menafsirkan Al-Qur’an. Bahkan, karya karya mereka
banyak beliau kutip sebagai bahan penafsirannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin
Nata. Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta:
Raja Grafindo Persada. 2005.
Badiatul Raziqin, dkk. 101 Jejak Tokoh
Islam Indonesia. Yogyakarta: E-Nusantara. 2009.
Mohammad Nor
Ichwan. Prof. M. Quraish Shihab Membincang Persoalan Gender. Semarang:
Rasail. 2013.
M. Quraish
Shihab. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan. 1994.
M.
Quraish Shihab. Tafsir
Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati. 2003.
[1] Badiatul Raziqin, dkk, 101 Jejak
Tokoh Islam Indonesia, Yogyakarta: E-Nusantara, 2009,
hlm. 269.
[4] Abuddin Nata, Tokoh-tokoh
Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2005, hlm. 363-364.
[5] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan
dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 15, Jakarta: Lentera Hati, 2003, hlm. 645.
[7] Mohammad Nor Ichwan, Prof. M. Quraish
Shihab Membincang Persoalan Gender, Semarang: Rasail, 2013, hlm. 36-37.
[8] Ibid…, hlm. 51.
[10] Ibid…, hlm.
59-61.
[11] Ibid…, hlm. 63.
[12] M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan
dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 15, Jakarta: Lentera Hati, 2003, hlm:
260-262
0 komentar:
Posting Komentar