Selasa, 06 Juni 2017

MUJMAL, MUAWWAL, MUBAYAN





BAB I
PENDAHUKUAN
A.           Latar belakang
Al-Qur’an merupakan mu’jizat yang di berikan kepada Nabi Muhammad SAW yang diberikan oleh Allah SWT sebagai sumber hukum agama Islam. Al-Qur’an mengandung ayat-ayat yang menjadi keilmuan dan mengayomi segala bentuk kemaslahatan manusia, semua yang terkandung di setiap ayat-ayatnya mengandung kebenaran dan tidak ada kesalahan sedikit pun selain itu isinya juga tidak diragukan lagi.
Keindahan bahasanya sudah tidak dipungkiri lagi mengungguli ahli-ahli bahasa mana pun di dunia. Bahasa al-Qur’an merupakan bahasa yang mengandung nilai kesasteraan yang sangat tinggi. Oleh karena itu, diperlukan kaidah-kaidah tertentu untuk memahami isi yang terkandung di dalamnya. Diantara kaidah-kaidah tersebut adalah memahami ayat-ayat yang terdapat pertanyaan dan jawaban.
Banyak sekali di dalam al-Qur’an ayat yang pasti maknanya tetapi tidak sedikit juga ayat-ayat al-Qur’an yang membutuhkan penjelasan dan penafsiran dalam memaknai ayat-ayat tersebut, oleh karena itu penulis mencoba untuk menjelaskan sedikit tentang : Mujmal, Muawwal, Mubayyan dalam al-Qur’an.
B.            Rumusan masalah
1.        Bagaimana Uraian tentang Mujmal?
2.        Bagaimana Uraian tentang Muawwal?
3.        Bagaimana Uraian tentang Mubayyan?








BAB II
PEMBAHASAN

A.           Mujmal
Mujmal secara bahasa : (المبهم والمجموع) mubham (yang tidak diketahui) dan yang terkumpul.
Mujmal secara istilah yaitu lafadz yang kemungkinan memiliki dua makana atau lebih dalam tingkat yang sama dan tidak mungkin salah satu makna tersebut ada yang lebih unggul. Seperti contoh lafadz (Quru’) dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 228:
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè%
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.”
Lafad quru’ dalam ayat ini mempunyai makna yang berbeda’ menurut para ulama’. Ada yang memaknai quru’ bimakna haid dan ada juga yang memaknai suci. Untuk menjelaskan lafad quru’ disini menggunakan hadits Rasulullah SAW.
Hadits pertama yang diriwayatkan oleh Imam Nasa’I yaitu “ wanita itu harus meninggalkan sholat ketika ia dalam masa haid”. Hadits ini menjelaskan bahwa  yang dimaksud dengan quru’ adalah masa haid.
Hadits kedua yaitu hadist Qudsi yang artinya “ceraikanlah istrimu dalam keadaan suci”. Sedangkan ahdits yang kedua menjelaskan bahwa yang di maksud quru’ adalah masa suci.
Dari dua penjelasan hadits di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang di maksud dari lafad quru’ itu bisa bermakan masa haid dan juga bisa bermakna masa suci.[1]


B.            Muawwal
Lafad  yang meninggalkan maknan sesungguhnya dengan dalil yang qoth’i (dalil yang tidak bisa bantah dengan argumen apapun). Seperti contohnya dalam surat adz-Dzariyat ayat 47:
uä!$uK¡¡9$#ur $yg»oYøt^t/ 7&÷ƒr'Î/ $¯RÎ)ur tbqãèÅqßJs9 ÇÍÐÈ  
“Dan langit itu kami bangun dengan kekuasaan (kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa”
Makna  أييدitu  jama’ dari lafadz يد yang makna dzahirnya adalah tangan, tetapi lafadz يد disini ditakwil dengan lafadz  القوة yang maknanya kekuatan atau kekuasaan. Untuk menakwilkan lafadz tersebut dengan menggunakan dalil qat’i (dalil yang tidak bisa dirusak dengan argumen apapun) karena Maha Suci Allah tidak bersifat dzahir sebagaimana sifat wajib Allah “muqolafatul lil hawadisi”  yaitu Allah tidak sama dengan makhluknya.[2]
C.            Mubayan
Definisi mubayyan (المبيَّن): mubayyan secara bahasa (etimologi) yaitu: (المظهر والموضح) yang ditampakkan dan yang dijelaskan.
Sedangkan secara secara terminologi mubayyan  adalah  lafadz  yang  jelas (maknanya)  dengan  sendirinya  atau dengan lafaz lainya”. Ada yang mendifinisikan mubayyan sebagai “Apa yang dapat difahami maksudnya, baik dengan asal  peletakannya atau setelah adanya penjelasan.”
Contoh yang dapat difahami maksudnya dengan asal peletakannya : lafadz langit (سماء), bumi (أرض), gunung (جبل), adil (عدل), dholim (ظلم), jujur (صدق). Maka kata-kata ini dan yang semisalnya dapat difahami dengan asal peletakannya, dan tidak membutuhkan dalil yang lain dalam menjelaskan maknanya.
Kemudian yang dapat di fahami maksudnya setelah adanya penjelasan:
1.        Penjelasan secara  muttashil
Yaitu lafadz yang di fahami maksudnya setelah adanya penjelasan yang ditemukan pada ayat yang berada ditempat yang sama. Contohnya terdapat pada surat al-Baqarah ayat 187:

¨@Ïmé& öNà6s9 s's#øs9 ÏQ$uŠÅ_Á9$# ß]sù§9$# 4n<Î) öNä3ͬ!$|¡ÎS 4 £`èd Ó¨$t6Ï9 öNä3©9 öNçFRr&ur Ó¨$t6Ï9 £`ßg©9 3 zNÎ=tæ ª!$# öNà6¯Rr& óOçGYä. šcqçR$tFøƒrB öNà6|¡àÿRr& z>$tGsù öNä3øn=tæ $xÿtãur öNä3Ytã ( z`»t«ø9$$sù £`èdrçŽÅ³»t/ (#qäótFö/$#ur $tB |=tFŸ2 ª!$# öNä3s9 4 (#qè=ä.ur (#qç/uŽõ°$#ur 4Ó®Lym tû¨üt7oKtƒ ãNä3s9 äÝøsƒø:$# âÙuö/F{$# z`ÏB ÅÝøsƒø:$# ÏŠuqóF{$# z`ÏB ̍ôfxÿø9$# (
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar.
Lafadz min fajri (dari fajar) yang terdapat pada ayat di atas berfungsi sebagai sebagai penjelas “mubayyin” terhadap lafadz khoidul abyadi minal qoidul aswadi (benang putih dan benang merah). Jika teks yang pengertiannya masih global tersebut tidak langsung dijelaskan pada ayat selanjutnya yaitu min fajri maka teks tersebut akan membingungkan dan tidak menutup kemungkinan akan ditafsirkan dengan pengertian yang lain.[3]
2.        Penjelasan secara  munfashil
Artinya penjelasan terhadap lafadz yang masih global baru dapat ditemukan pada teks dan tempat yang berlaianan. Contohnya dalam al-Qur’an surat al-Qiyamah ayat 22-23:
×nqã_ãr 7Í´tBöqtƒ îouŽÅÑ$¯R ÇËËÈ   4n<Î) $pkÍh5u ×otÏß$tR ÇËÌÈ    
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. kepada Tuhannyalah mereka melihat.”
Lafadz an-nadhirah (berseri-seri) dan al-nazhirah (melihat) yang terdapat dalam ayat ini dapat dipahami bahwa manusia mempunyai kemungkinan dapat melihat Allah. Lafadz yang masih global tersebut kemudian dijelaskan Allah dalam surat al-An’am  ayat 103:
žw çmà2Íôè? ㍻|Áö/F{$# uqèdur à8Íôムt»|Áö/F{$# ( uqèdur ß#Ïܯ=9$# 玍Î6sƒø:$# ÇÊÉÌÈ    
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha mengetahui.”
Ayat diatas menjelaskan bahwa manusia dengan penglihatan matanya tidak mampu menjangkau Allah.  Dengan demikian, ayat yang masih global sebagaimana ditunjukkan Q.S al-Qiyamah ayat 22-23 ditafsirkan dengan Q.S al-An’am ayat 103.[4]
3.        Penjelasan dengan Hadits
Artinya penjelasan terhadap lafadz yang masih global dengan menggunakan hadits Rasulullah SAW. Contohnya:
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè%
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.”
Lafad quru’ dalam ayat ini mempunyai makna yang berbeda’ menurut para ulama’. Ada yang memaknai quru’ bimakna haid dan ada juga yang memaknai suci. Untuk menjelaskan lafad quru’ disini menggunakan hadits Rasulullah SAW.
Hadits pertama yang diriwayatkan oleh Imam Nasa’I yaitu “ wanita itu harus meninggalkan sholat ketika ia dalam masa haid”. Hadits ini menjelaskan bahwa  yang dimaksud dengan quru’ adalah masa haid.
Hadits kedua yaitu hadist Qudsi yang artinya “ceraikanlah istrimu dalam keadaan suci”. Sedangkan ahdits yang kedua menjelaskan bahwa yang di maksud quru’ adalah masa suci.
Dari dua penjelasan hadits di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang di maksud dari lafad quru’ itu bisa bermakan masa haid dan juga bisa bermakna masa suci.[5]


   â







BAB III
PENUTUP
A.   Simpulan
            Dalam memahami makna al-Qur’an kita harus mengetahui kaidah-kaidah tafsir di antaranya Mujmal, Muawwal, dan Mubayyan, karena kaidah ini menerangkan tentang ayat-ayat yang masih global yang kemudian di takwil maupun dijelaskan dengan ayat-ayat al-Qur’an maupun dengan Hadits.



































Daftar Pustaka


Ahmadi, Sya’roni, Tashrihul Yasir Fi Ilmi Tafsir, Kudus, 2010.
Ichwan, Nor, memahami bahasa al-Qur’an, PUSTAKA PELAJAR: Yogyakarta, 2002.
http://stainkudus.ac.id/

[1] Sya’roni Ahmadi, Tashrihul Yasir Fi Ilmi Tafsir, Kudus, 2010, hlm:59
[2] Ibid, hlm: 59-60
[3] Nor ichwan, memahami bahasa al-Qur’an, PUSTAKA PELAJAR: Yogyakarta, 2002, hlm: 155
[4] Ibid, hlm: 156-157
[5] Op.Cit, hlm: 59

0 komentar:

Posting Komentar