SEJARAH
PERKEMBANGAN TAFSIR DI INDONESIA MASA KOLONIALISME
Makalah
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Sejarah Pemikiran Tafsir
Dosen Pengampu: Dr. Makmun Mu’min, M.Ag., M.S.I., M.Hum.
Disusun Oleh :
Ainun Abdul Naim
(1530110007)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JURUSAN USHULUDDIN/IQT 4A
2017
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATARA BELAKANG
Al-Qur’an adalah kitabullah yang di dalamnya dimuat
akan dasar-dasar ajaran Islam. Al-Qur’an menerangkan segala perintah dan
larangan , halal dan haram, bak dan buruk, dan memuat kisah sejarah umat
lampau. Kemampuan memahami dan mengungkap isi serta mengetahui prinsip-prinsip
kandungannya disebut dengan pemikiran tafsir.
Pada masa Nabi Muhammad SAW. berfungsi Mubayyin
(penjelas) kepada sahabatnya tentang
arti kandungan al-Qur’an sebagai Pemikiran tafsir di oleh para sahabat. Setelah
Rasulullah wafat pada periode sahabat, mereka telah dapat memahami al-Qur’an
secara global atas dasar pengetahuan mereka terhadap bahasa Arab sebagai bahasa
pokok al-Qur’an. Pemikiran ini kemudian berkembang pada masa Tabi’in, Tabi’it Tabi’in, hingga datang ke Indonesia sampai
saat ini yang masih dapat kita rasakan pemikiran tafsir sampai saat ini.
Awal masuknya pemikiran tafsir di Indonesia ini di
awali oleh para ulama’ yang menyebarkan agama Islam di Nusantara yang bersamaan
dengan awal masa penjajahan yang kita sebut dengan masa Kolonialisme.
Makalah kali ini akan menyajikan sejarah pemikiran
tafsir di Nusantara pada masa Kolonialisme beserta karya-karya tafsir yang di
tulis oleh ulama’ indonesia pada waktu itu.
B. Latar Belakang
- Bagaimana perkembanga pemikiran tafsir di Indonesia?
- Bagaimana perkembangan pemikiran tafsir pada abad ke-15 sampai abad ke-17?
- Bagaimana perkembangan pemikiran tafsir pada abad ke-18 sampai abad ke-19?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Perkembanga Pemikiran
Tafsir di Indonesia
Studi al-Qur’an dan tafsir serta metodologinya
sebenarya selalu mengalami perkembangan yang signifikan, seiring dengan akselerasi
perkembangan kondisi sosial budaya dan peradaban manusia, sejak turunya
al-Qur’an sampai sekarang. Fenomena tersebut merupakan kosekuensi logis dari
adanya keinginan umat Islam untuk mendialogkan antara al-Qur’an sebagai teks
yang terbatas dengan perkembangan sosial kemanusiaan yang dihadapi manusia
sebagai konteks yang tak terbatas. Hal itu juga merupakan salah satu implikasi
dari pandangan teologis umat Islam bahwa al-Qur’an shohih likulli zaman wa makan. Karenanya, sebagaimana dikatakan
Muhammad Syahrur, al-Qur’an harus selalu ditafsirkan sesuai dengan tuntutan era
kontemporer yang dihadapi umat manusia.
Bersamaan dengan proses masuknya Islam di Nusantara, Kitab Suci
al-Qura’an diperkenalkan oleh juru dakwah kepada penduduk pribumi di Nusantara.
Namun studi al-Qur’an pada periode pertama Islam di Nusantara belum bisa
dikatakan sebagai sebuah tafsir, meskipun pada masa ini kitab-kitab tafsir karya
ulama dunia telah bermunculan, akan tetapi untuk skala Indonesia, penafsiran
al-Quran masih berada pada wilayah penjelasan ayat-ayat al-Quran yang bersifat
praktis dan penjelasan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan pemahaman pembawa
ajaranya.[1]
Sebagaimana diketahui para ulama dan penyebar Islam
melihat kondisi di Nusantara pada saat itu, dimana yang dibutuhkan hanya
sebatas penafsiran ayat-ayat untuk kebutuhan dakwah Islamiyah. Sehingga untuk
melacak karya-karya yang muncul pada masa klasik sangat susah disebabkan
beberapa faktor diantaranya: Pertama;
bahwa tulisan pada masa itu belum terlalu penting untuk masyarakat Indonesia. Kedua; masyarakat di Indonesia pada masa
itu lebih memilih penjelasan ayat-ayat al-Qur’an yang praktis terhadap isi
kandungan al-Qur’an ketimbang membaca karya-karya yang pernah ada di Arab. Ketiga; bahwa masyarakat yang telah
memeluk Islam dari kalangan pribumi masih membutuhkan waktu untuk belajar
membaca huruf-huruf Arab yang secara kultural huruf-huruf tersebbut masih
tergolong asing dikalangan masyarakat Indonesia.
Dengan sebab itu, sejarah perkembangan pemiikiran
tafsir al-Qur’an di Indonesia, baik dalam bahasa Arab atau bahasa Indonesia,
apalagi dalam bahasa daerah, mengingat pemikiran tafsir di Indonesia begitu
unik. Secara umum pemerhati sejarah pemikiran tafsir di Indonesia seperti
tulisan Abdul Gaffar bahwa hanya mampu membuktikan perkembangan pemikiran
tafsir paling awal sejak abad ke-17 sampai masa kontemporer.
B.
Perkembangan pemikiran
tafsir pada abad ke-15 sampai abad ke-17
Sebenarnya sebelum Abdur rouf al-Singkili menulis
tafsirnya, sudah ada ulama’ yang menulis bidang pemikiran tafsir meskipun tidak
dalam bentuk yang sempurnna 30 juz. Seorang penulis bernama Hamzah al-Fansuri
yang hidup antara tahun 1550-1599 dengan menerjemahkan sejumlah ayat al-Qur’an
yang terkait dengan tasawuf dalam bahasa Melayu yang indah. Salah satu contohnya
ketika menafsirkan surah al-Ikhlas, seperti dikutip G.W.J. Drewes dan L.F.
Brakel dengan mengatakan :
Laut
itu indah bernama Ahad
Terlalu
lengkap pada asy’us-samad
Olehnya
itulah lam yalid wa lam yulad
Wa
lam yakun lahu kufu’an Ahad[2]
Bukti lain yang menunjukan bahwa pemikiran tafsir
sudah ada sebelum ditulis Abd Rauf al-Singkily adalah sebuah penggalan karya
tafsir berupa manuskrip tertanggal sebelum tahun 1620 M yang dibawa ke Belanda
yaitu Tafsir Surah al-Kahfi dalam
bahasa Melayu, namun tidak tercantum pengarangnya. Diantara pengikut Hamzah
al-Fansuri adalah Syamsuddin al-Samatrani yang muncul sebagai ulama’ terkemuka
di istana Sultan Iskandar Muda, penguasa Aceh pada tahun 1603-1636, juga
menulis dalam bidang pemikiran tafsir al-Qur’an.
Pada masa Sultanah Safiyat al-Din, penerus Sultan
Iskandar Muda II, Abd Rouf al-Singkily menulis karyanya dibidang pemikiran
tafsir pada tahun 1661 dengan judul Tarjumanul
Mustafid yang merupakan saduran tiga kitab tafsir yaitu Tafsir al-Jalalain, Tafsir al-Khazin dan
Tafsir al-Baidawi (Anwar al-Tanzil).[3]
C.
Perkembangan pemikiran
tafsir pada abad ke-18 sampai abad ke-19
Pada abad ke-18 muncul beberapa ulama’-ulama’ penulis
dalam berbagai disiplin ilmu termasuk pemikiran tafsir meskipun yang paling
menonjol adalah karya yang terkait mistik atau tasawuf. Ulama’-ulama’ yang ada
saat itu adalah Abd Shamad al-Palimbani, M. Arsyad al-Banjari, Abd Wahab Bugis,
Abd Rahman al-Batawi, dan Daud al-Fatani yang bergabung dalam komunitas Jawa.
Karya-karya mereka tidak berkontribusi langsung kepada bidang pemkiran tafsir,
akan tetapi banyak kutipan al-Qur’an yang dijadikan dalil seperti dalam kitab Sayr al-Salikin, yang ditulis oleh
al-Palimbani dari ringkasan kitab Ikhya’
‘Ulumuddin karya Imam al-Gozali.
Memasuki abad ke-19, penulisann di bidang pemikiran
tafsir di Indonesia tidak lagi ditemukan seperti pada masa-masa sebelumnya. Hal
itu terjadi karena beberapa faktor, diantaranya pengkajian pemikiran tafsir
al-Qur’an selama berabad-abad lamanya hanya sebatas membaca dan memahami kitab
yang ada, dan karena adanya tekanan dan penjajahan Belanda yang mencapai
puncaknya pada abad tersebut sehingga mayoritas ulama’ mengungsi ke pelosok desa
dan mendirikan pesantren-pesanntren sebagai tempat pembinaan generasi sekaligus
konsentrasi perjuangan. Ulama’ tidak lagi fokus untuk menulis karya akan tetapi
lebih cenderung mengajarkan karya-karya yang telah ditulis ulama’ sebelumnya.[4]
Abad ke-19 ini muncul karya tafsir yang berjudul Fars’idul Qur’an. Tafsir ini menggunakan
bahasa Melayu-Jawi. Sebagaimana naskah tafsir surat al-Kahfi yang penulisnya
tidak dapat diketahui. Kitab tafsir ini ditulis dalam bentuk yang sangat
sederhana, dan tampak seperti artikel tafsir, sebab hanya terdiri dari dua
halaman dengan huruf kecil dan spasi lengkap. Literatur ini menafsirkan dua
ayat dari surat al-Nisa’ ayat 11 dan 12 yang membicrakan tentang warisan.
Selain kitab Fars’idul
Qur’an pada abad ke-19 ini juga muncul sebuah literatur tafsir utuh yang
berjudul Tafsir Munir Li Ma’alim
al-Tanzil yang ditulis oleh ulama’ ahli Indonesia bernama Imam Muhammad
Nawawi al-Bantani (1813-1879). Walaupun kitab ini ditulis di Indonesia,
namun kitab ini ditulis dengan bahasa
Arab. Penulisan tafsir ini dilakuakan di Makkah dan selesai pada hari Rabu, 5
Rabi’ul Akhir 1305 H.
Kemudian pada tahun 1920-an munculah dua ulama’ besar
bernama H. Iljas dan Abd jalil yang menulis sebuah literatur tafsir dengan
judul Alqoerannoel Hakim Beserta Toejoean
dan Maksoednja (Padang Pajang: 1925). Literatur tafsir ini hanya
menafsirkan atas juz pertama saja, walaupun demikian telah menandakan bahwa
pada abad ini telah muncul literatur Tafsir al-Qur’an. Pada tahun inipun
Cokroaminoto memperkenalkan terjemahan tafsir karangan Maulvi Mohammed Ali dari
Ahmadiyyah Lahore. Namun karya ini mendapatkan kritikkan dari banyak ulama’
karena penerjemahanya yang dipandang liar.[5]
BAB
III
PENUTUP
A.
Simpulan
Pemikiran tafsir di Indonesia dari awal hingga
sekarang selalu mengalami perkembangan yang signifikan khususnya pada masa awal
masuknya portugis pada abad ke-15 sampai abad ke-19 yang mana pada abad ini
muncul karya tafsir yaitu Hamzah al-Fansuri yang hidup antara tahun 1550-1599
dengan menerjemahkan sejumlah ayat al-Qur’an yang terkait dengan tasawuf dalam
bahasa Melayu yang indah, Abd Rouf al-Singkily yang menulis karyanya dibidang
pemikiran tafsir pada tahun 1661 dengan judul Tarjumanul Mustafid, Tafsir Fars’idul Qur’an, Tafsir Munir Li Ma’alim al-Tanzil yang ditulis oleh ulama’ ahli
Indonesia bernama Imam Muhammad Nawawi al-Bantani (1813-1879), Kemudian pada
tahun 1920-an munculah dua ulama’ besar bernama H. Iljas dan Abd jalil yang
menulis sebuah literatur tafsir dengan judul Alqoerannoel Hakim Beserta Toejoean dan Maksoednja.
DAFTAR
PUSTAKA
Zuhdi, M. Nurdin, Pasaraya
Tafsir Indonesia, Kaukaba Dipantara, Yogyakarta, 2014
Mu’min, Ma’mun,
Sejarah Pemikiran Tafsir, Nora
Media Enterprise, Kudus, 2011
Ini sama kayak tema saya :-D
BalasHapusBagus, tapi sayang background nya item, gelap. Lebih nyaman dibaca klo background nya putih
*Tema makalah
BalasHapusPak makmun