Rabu, 31 Mei 2017

SEJARAH PERKEMBANGAN TAFSIR DI INDONESIA MASA KOLONIALISME




SEJARAH PERKEMBANGAN TAFSIR DI INDONESIA MASA KOLONIALISME

Makalah

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah: Sejarah Pemikiran Tafsir

Dosen Pengampu: Dr. Makmun Mu’min, M.Ag., M.S.I., M.Hum.




Disusun Oleh :
Ainun Abdul Naim
(1530110007)


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI  (STAIN) KUDUS
JURUSAN USHULUDDIN/IQT 4A
2017










BAB I

PENDAHULUAN
A.      LATARA BELAKANG
Al-Qur’an adalah kitabullah yang di dalamnya dimuat akan dasar-dasar ajaran Islam. Al-Qur’an menerangkan segala perintah dan larangan , halal dan haram, bak dan buruk, dan memuat kisah sejarah umat lampau. Kemampuan memahami dan mengungkap isi serta mengetahui prinsip-prinsip kandungannya disebut dengan pemikiran tafsir.
Pada masa Nabi Muhammad SAW. berfungsi Mubayyin (penjelas)  kepada sahabatnya tentang arti kandungan al-Qur’an sebagai Pemikiran tafsir di oleh para sahabat. Setelah Rasulullah wafat pada periode sahabat, mereka telah dapat memahami al-Qur’an secara global atas dasar pengetahuan mereka terhadap bahasa Arab sebagai bahasa pokok al-Qur’an. Pemikiran ini kemudian berkembang  pada masa Tabi’in, Tabi’it  Tabi’in, hingga datang ke Indonesia sampai saat ini yang masih dapat kita rasakan pemikiran tafsir sampai saat ini.
Awal masuknya pemikiran tafsir di Indonesia ini di awali oleh para ulama’ yang menyebarkan agama Islam di Nusantara yang bersamaan dengan awal masa penjajahan yang kita sebut dengan masa Kolonialisme.
Makalah kali ini akan menyajikan sejarah pemikiran tafsir di Nusantara pada masa Kolonialisme beserta karya-karya tafsir yang di tulis oleh ulama’ indonesia pada waktu itu.
B.     Latar Belakang
  1. Bagaimana perkembanga pemikiran tafsir di Indonesia?
  2. Bagaimana perkembangan pemikiran tafsir pada abad ke-15 sampai abad ke-17?  
  3. Bagaimana perkembangan pemikiran tafsir pada abad ke-18 sampai abad ke-19?
                                               



BAB II
PEMBAHASAN
A.      Perkembanga Pemikiran Tafsir di Indonesia
Studi al-Qur’an dan tafsir serta metodologinya sebenarya selalu mengalami perkembangan yang signifikan, seiring dengan akselerasi perkembangan kondisi sosial budaya dan peradaban manusia, sejak turunya al-Qur’an sampai sekarang. Fenomena tersebut merupakan kosekuensi logis dari adanya keinginan umat Islam untuk mendialogkan antara al-Qur’an sebagai teks yang terbatas dengan perkembangan sosial kemanusiaan yang dihadapi manusia sebagai konteks yang tak terbatas. Hal itu juga merupakan salah satu implikasi dari pandangan teologis umat Islam bahwa al-Qur’an shohih likulli zaman wa makan. Karenanya, sebagaimana dikatakan Muhammad Syahrur, al-Qur’an harus selalu ditafsirkan sesuai dengan tuntutan era kontemporer yang dihadapi umat manusia.
Bersamaan dengan proses  masuknya Islam di Nusantara, Kitab Suci al-Qura’an diperkenalkan oleh juru dakwah kepada penduduk pribumi di Nusantara. Namun studi al-Qur’an pada periode pertama Islam di Nusantara belum bisa dikatakan sebagai sebuah tafsir, meskipun pada masa ini kitab-kitab tafsir karya ulama dunia telah bermunculan, akan tetapi untuk skala Indonesia, penafsiran al-Quran masih berada pada wilayah penjelasan ayat-ayat al-Quran yang bersifat praktis dan penjelasan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan pemahaman pembawa ajaranya.[1]
Sebagaimana diketahui para ulama dan penyebar Islam melihat kondisi di Nusantara pada saat itu, dimana yang dibutuhkan hanya sebatas penafsiran ayat-ayat untuk kebutuhan dakwah Islamiyah. Sehingga untuk melacak karya-karya yang muncul pada masa klasik sangat susah disebabkan beberapa faktor diantaranya: Pertama; bahwa tulisan pada masa itu belum terlalu penting untuk masyarakat Indonesia. Kedua; masyarakat di Indonesia pada masa itu lebih memilih penjelasan ayat-ayat al-Qur’an yang praktis terhadap isi kandungan al-Qur’an ketimbang membaca karya-karya yang pernah ada di Arab. Ketiga; bahwa masyarakat yang telah memeluk Islam dari kalangan pribumi masih membutuhkan waktu untuk belajar membaca huruf-huruf Arab yang secara kultural huruf-huruf tersebbut masih tergolong asing dikalangan masyarakat Indonesia.
Dengan sebab itu, sejarah perkembangan pemiikiran tafsir al-Qur’an di Indonesia, baik dalam bahasa Arab atau bahasa Indonesia, apalagi dalam bahasa daerah, mengingat pemikiran tafsir di Indonesia begitu unik. Secara umum pemerhati sejarah pemikiran tafsir di Indonesia seperti tulisan Abdul Gaffar bahwa hanya mampu membuktikan perkembangan pemikiran tafsir paling awal sejak abad ke-17 sampai masa kontemporer.
B.       Perkembangan pemikiran tafsir pada abad ke-15 sampai abad ke-17
Sebenarnya sebelum Abdur rouf al-Singkili menulis tafsirnya, sudah ada ulama’ yang menulis bidang pemikiran tafsir meskipun tidak dalam bentuk yang sempurnna 30 juz. Seorang penulis bernama Hamzah al-Fansuri yang hidup antara tahun 1550-1599 dengan menerjemahkan sejumlah ayat al-Qur’an yang terkait dengan tasawuf dalam bahasa Melayu yang indah. Salah satu contohnya ketika menafsirkan surah al-Ikhlas, seperti dikutip G.W.J. Drewes dan L.F. Brakel dengan mengatakan :
Laut itu indah bernama Ahad
Terlalu lengkap pada asy’us-samad
Olehnya itulah lam yalid wa lam yulad
Wa lam yakun lahu kufu’an Ahad[2]
Bukti lain yang menunjukan bahwa pemikiran tafsir sudah ada sebelum ditulis Abd Rauf al-Singkily adalah sebuah penggalan karya tafsir berupa manuskrip tertanggal sebelum tahun 1620 M yang dibawa ke Belanda yaitu Tafsir Surah al-Kahfi dalam bahasa Melayu, namun tidak tercantum pengarangnya. Diantara pengikut Hamzah al-Fansuri adalah Syamsuddin al-Samatrani yang muncul sebagai ulama’ terkemuka di istana Sultan Iskandar Muda, penguasa Aceh pada tahun 1603-1636, juga menulis dalam bidang pemikiran tafsir al-Qur’an.
Pada masa Sultanah Safiyat al-Din, penerus Sultan Iskandar Muda II, Abd Rouf al-Singkily menulis karyanya dibidang pemikiran tafsir pada tahun 1661 dengan judul Tarjumanul Mustafid yang merupakan saduran tiga kitab tafsir yaitu Tafsir al-Jalalain, Tafsir al-Khazin dan Tafsir al-Baidawi (Anwar al-Tanzil).[3]
C.      Perkembangan pemikiran tafsir pada abad ke-18 sampai abad ke-19
Pada abad ke-18 muncul beberapa ulama’-ulama’ penulis dalam berbagai disiplin ilmu termasuk pemikiran tafsir meskipun yang paling menonjol adalah karya yang terkait mistik atau tasawuf. Ulama’-ulama’ yang ada saat itu adalah Abd Shamad al-Palimbani, M. Arsyad al-Banjari, Abd Wahab Bugis, Abd Rahman al-Batawi, dan Daud al-Fatani yang bergabung dalam komunitas Jawa. Karya-karya mereka tidak berkontribusi langsung kepada bidang pemkiran tafsir, akan tetapi banyak kutipan al-Qur’an yang dijadikan dalil seperti dalam kitab Sayr al-Salikin, yang ditulis oleh al-Palimbani dari ringkasan kitab Ikhya’ ‘Ulumuddin karya Imam al-Gozali.
Memasuki abad ke-19, penulisann di bidang pemikiran tafsir di Indonesia tidak lagi ditemukan seperti pada masa-masa sebelumnya. Hal itu terjadi karena beberapa faktor, diantaranya pengkajian pemikiran tafsir al-Qur’an selama berabad-abad lamanya hanya sebatas membaca dan memahami kitab yang ada, dan karena adanya tekanan dan penjajahan Belanda yang mencapai puncaknya pada abad tersebut sehingga mayoritas ulama’ mengungsi ke pelosok desa dan mendirikan pesantren-pesanntren sebagai tempat pembinaan generasi sekaligus konsentrasi perjuangan. Ulama’ tidak lagi fokus untuk menulis karya akan tetapi lebih cenderung mengajarkan karya-karya yang telah ditulis ulama’ sebelumnya.[4]
Abad ke-19 ini muncul karya tafsir yang berjudul Fars’idul Qur’an. Tafsir ini menggunakan bahasa Melayu-Jawi. Sebagaimana naskah tafsir surat al-Kahfi yang penulisnya tidak dapat diketahui. Kitab tafsir ini ditulis dalam bentuk yang sangat sederhana, dan tampak seperti artikel tafsir, sebab hanya terdiri dari dua halaman dengan huruf kecil dan spasi lengkap. Literatur ini menafsirkan dua ayat dari surat al-Nisa’ ayat 11 dan 12 yang membicrakan tentang warisan.
Selain kitab Fars’idul Qur’an pada abad ke-19 ini juga muncul sebuah literatur tafsir utuh yang berjudul Tafsir Munir Li Ma’alim al-Tanzil yang ditulis oleh ulama’ ahli Indonesia bernama Imam Muhammad Nawawi al-Bantani (1813-1879). Walaupun kitab ini ditulis di Indonesia, namun  kitab ini ditulis dengan bahasa Arab. Penulisan tafsir ini dilakuakan di Makkah dan selesai pada hari Rabu, 5 Rabi’ul Akhir 1305 H.
Kemudian pada tahun 1920-an munculah dua ulama’ besar bernama H. Iljas dan Abd jalil yang menulis sebuah literatur tafsir dengan judul Alqoerannoel Hakim Beserta Toejoean dan Maksoednja (Padang Pajang: 1925). Literatur tafsir ini hanya menafsirkan atas juz pertama saja, walaupun demikian telah menandakan bahwa pada abad ini telah muncul literatur Tafsir al-Qur’an. Pada tahun inipun Cokroaminoto memperkenalkan terjemahan tafsir karangan Maulvi Mohammed Ali dari Ahmadiyyah Lahore. Namun karya ini mendapatkan kritikkan dari banyak ulama’ karena penerjemahanya yang dipandang liar.[5]

  

BAB III
PENUTUP
A.      Simpulan
Pemikiran tafsir di Indonesia dari awal hingga sekarang selalu mengalami perkembangan yang signifikan khususnya pada masa awal masuknya portugis pada abad ke-15 sampai abad ke-19 yang mana pada abad ini muncul karya tafsir yaitu Hamzah al-Fansuri yang hidup antara tahun 1550-1599 dengan menerjemahkan sejumlah ayat al-Qur’an yang terkait dengan tasawuf dalam bahasa Melayu yang indah, Abd Rouf al-Singkily yang menulis karyanya dibidang pemikiran tafsir pada tahun 1661 dengan judul Tarjumanul Mustafid, Tafsir Fars’idul Qur’an, Tafsir Munir Li Ma’alim al-Tanzil yang ditulis oleh ulama’ ahli Indonesia bernama Imam Muhammad Nawawi al-Bantani (1813-1879), Kemudian pada tahun 1920-an munculah dua ulama’ besar bernama H. Iljas dan Abd jalil yang menulis sebuah literatur tafsir dengan judul Alqoerannoel Hakim Beserta Toejoean dan Maksoednja.


DAFTAR PUSTAKA
Zuhdi, M. Nurdin, Pasaraya Tafsir Indonesia, Kaukaba Dipantara, Yogyakarta, 2014
Mu’min, Ma’mun,  Sejarah Pemikiran Tafsir, Nora Media Enterprise, Kudus, 2011


[1] Ma’mun Mu’min,  Sejarah Pemikiran Tafsir, Nora Media Enterprise, Kudus, 2011, hlm: 75-76
[2] Ibid, hlm: 77
[3] Ibid, hlm: 77-78
[4] Ibid, hlm: 78-79
[5] M. Nurdin Zuhdi, Pasaraya Tafsir Indonesia, Kaukaba Dipantara, Yogyakarta, 2014, hlm: 64-65



www.stainkudus.ac.id 

2 komentar:

  1. Ini sama kayak tema saya :-D
    Bagus, tapi sayang background nya item, gelap. Lebih nyaman dibaca klo background nya putih

    BalasHapus